Di atas selembar kertas yang sudah mulai usang, seorang pria mencatat daftar impiannya. Ia menyebutnya “Target Kehidupan.” Sebuah daftar panjang yang ditulis dengan penuh harapan, meskipun jauh di lubuk hatinya, ia tahu bahwa sebagian besar dari daftar itu mungkin hanya akan menjadi sekadar tulisan. Namun, ia tetap menulis, karena harapan adalah satu-satunya kemewahan yang ia miliki.
Nomor satu dalam daftar itu sederhana: “Makan enak setidaknya sekali seminggu.” Sebuah keinginan kecil yang bagi orang lain mungkin terasa sepele, tetapi bagi si miskin, ini adalah kemewahan yang membutuhkan perencanaan matang. Makan enak berarti ada lauk daging di atas meja, bukan sekadar nasi dengan garam atau mie instan. Untuk mewujudkannya, ia harus menabung selama beberapa minggu. Dan bahkan setelah berhasil menikmati satu piring makan enak, rasa bersalah sering kali menghantui—“Seharusnya uang ini disimpan untuk kebutuhan lain,” pikirnya.
Nomor dua: “Beli motor sendiri, biar nggak pinjam tetangga.” Motor bekas, tentu saja. Motor baru hanyalah mimpi yang terlalu jauh. Ia mulai menghitung: kalau ia menyisihkan sepuluh ribu rupiah setiap hari, mungkin dalam tiga tahun ia bisa membeli motor impiannya. Tapi tunggu, tiga tahun itu tanpa menghitung kemungkinan darurat—anak sakit, kebutuhan sekolah, atau harga bahan pokok yang naik tiba-tiba. Dalam kenyataan, tiga tahun bisa berubah menjadi lima tahun, atau bahkan lebih.
Nomor tiga: “Punya rumah sendiri, walaupun kecil.” Ah, rumah. Sebuah impian besar yang tampaknya hanya ada dalam dongeng bagi si miskin. Harga tanah yang terus melonjak dan cicilan yang mencekik membuat impian ini nyaris mustahil. Tapi ia tetap mencatatnya dalam daftar, karena menyerah pada impian berarti menyerah pada hidup itu sendiri.
Nomor empat: “Anak sekolah sampai sarjana.” Ia tahu betul betapa pentingnya pendidikan, karena ia sendiri hanya lulusan sekolah dasar. Namun, biaya pendidikan bukanlah sesuatu yang murah. Seragam, buku, uang transportasi, hingga iuran sekolah setiap bulan—semuanya terasa seperti lubang tanpa dasar yang menelan penghasilannya. Meski begitu, ia tetap berjuang, meyakini bahwa setidaknya anak-anaknya harus memiliki hidup yang lebih baik darinya.
Daftar itu terus berlanjut, mulai dari “bisa liburan ke pantai,” hingga “punya tabungan pensiun.” Namun, semakin panjang daftar itu, semakin ia sadar bahwa hidupnya adalah ironi yang penuh kontradiksi. Ia menabung uang receh demi receh, sementara inflasi dengan santainya menggerogoti nilai tabungannya. Ia bekerja keras dari pagi hingga malam, tetapi tetap saja kebutuhan hidup selalu lebih cepat mengejarnya.
Di sisi lain, ia juga rajin menabung doa. Setiap malam, ia meluangkan waktu untuk berbicara kepada Tuhan, memohon agar impian-impian itu dapat terwujud. Doa menjadi pelipur lara di tengah realitas yang pahit. “Tuhan, kalau tidak semua, setidaknya satu saja dari daftar ini yang Kau kabulkan,” bisiknya sebelum tidur.
Ironisnya, dunia tampaknya tidak terlalu peduli dengan doa-doa si miskin. Sementara ia berjuang keras untuk makan enak sekali seminggu, orang-orang kaya dengan mudah menghamburkan uang untuk hal-hal yang bahkan tidak mereka butuhkan. Bagi mereka, makan di restoran mewah adalah rutinitas, bukan kemewahan. Mereka tidak perlu mencatat daftar impian, karena segalanya sudah ada di genggaman mereka.
Namun, meski hidupnya penuh ironi, si miskin tidak pernah menyerah. Ia terus menulis, menabung, dan berdoa. Baginya, harapan adalah satu-satunya hal yang membuat hidup layak dijalani, meskipun daftar impian itu mungkin tak akan pernah habis. Bahkan jika hanya sedikit dari daftar itu yang terwujud, ia tahu bahwa ia telah berjuang sekuat tenaga. Dan dalam perjuangan itulah, ia menemukan makna hidup yang sesungguhnya.
Komentar
Posting Komentar