Di era yang serba terkoneksi ini, pengaruh sosial bukan lagi hak istimewa para pemimpin negara, raja, tokoh agama, atau artis dengan segudang bakat. Tidak, Tuan dan Nyonya sekalian, panggung pengaruh kini menjadi arena bebas untuk siapa saja, atau bahkan apa saja, selama mereka memiliki koneksi internet yang stabil dan kamera yang layak. Kita telah masuk ke era beyond influence, di mana pengaruh tidak lagi menjadi monopoli manusia yang berbakat atau berakal sehat.
Mari kita mulai dengan fenomena paling menggemaskan namun absurd: kucing influencer. Bayangkan seekor kucing bernama Mr. Whiskers yang hanya tahu cara mengeong dan tidur sepanjang hari, namun memiliki jutaan pengikut di Instagram. Setiap kali Mr. Whiskers mengunggah foto dengan ekspresi malasnya, dunia terhenti sejenak. "Oh, lihat, Mr. Whiskers mengenakan sweater! Sungguh lucu!" jerit para penggemarnya. Dalam sekejap, merek-merek besar berlomba-lomba untuk mengontrak kucing ini sebagai duta produk. Sebuah dunia di mana seekor kucing bisa lebih kaya dan lebih berpengaruh daripada seorang ilmuwan peraih Nobel. Ironis? Tentu saja.
Namun, jangan salah, bukan hanya kucing yang merasakan dampak beyond influence ini. Media sosial telah membuka peluang bagi siapa saja, termasuk individu tanpa bakat yang jelas, untuk menjadi sosok yang "penting." Lihatlah para "konten kreator" yang terkenal hanya karena menari-nari aneh di depan kamera atau menyusun es krim dengan cara yang "unik." Mereka bukan ahli seni, bukan atlet, bukan juga pemikir besar. Tetapi entah bagaimana, jutaan orang mengikuti mereka, menonton mereka, dan bahkan mengidolakan mereka. Apakah ini berarti kita telah kehilangan selera terhadap apa yang benar-benar bermakna? Atau justru ini adalah refleksi dari kehausan kita akan hiburan instan di dunia yang penuh tekanan?
Yang lebih menarik adalah betapa sosial media telah menciptakan standar baru tentang apa yang dianggap "berpengaruh." Sebelumnya, seseorang harus bekerja keras, memiliki reputasi, atau prestasi nyata untuk menjadi tokoh yang dihormati. Kini, cukup dengan satu video viral—entah itu karena kecelakaan lucu atau komentar kontroversial—seseorang bisa langsung meroket ke puncak popularitas. Tidak peduli apakah mereka benar-benar layak mendapatkan perhatian tersebut. Seperti kata pepatah modern: "Jadilah viral dulu, pikirkan moral belakangan."
Ironi semakin terasa ketika kita melihat bagaimana sosok-sosok ini memiliki kekuatan untuk membentuk opini publik. Seseorang yang terkenal karena menjual minuman diet palsu di TikTok bisa memiliki lebih banyak pengaruh daripada seorang dokter yang telah menghabiskan puluhan tahun untuk meneliti gizi. Bukan berarti minuman diet itu bekerja, tentu saja, tetapi kemampuan sang "influencer" untuk meyakinkan jutaan pengikutnya adalah bukti bahwa pengaruh bukan lagi soal fakta atau kebenaran. Pengaruh adalah soal siapa yang bisa berteriak paling keras di tengah keramaian digital.
Lalu bagaimana dengan para pemimpin tradisional—presiden, raja, atau tokoh agama? Oh, mereka masih ada, tentu saja. Tetapi mereka kini harus bersaing dengan bintang media sosial yang bisa membangun basis pengikut lebih cepat daripada waktu yang dibutuhkan untuk menyusun pidato resmi. Bahkan seorang pemimpin negara mungkin harus mempelajari algoritma media sosial untuk memastikan pesannya tidak tenggelam di antara video kucing bermain piano dan tips kecantikan yang tidak masuk akal.
Namun, mungkin bagian paling satir dari semua ini adalah bahwa kita, sebagai masyarakat, justru menyambut era beyond influence ini dengan tangan terbuka. Kita menyukai absurditasnya. Kita senang melihat hal-hal yang tidak masuk akal menjadi pusat perhatian. Kita menonton video kucing viral, mengikuti influencer yang tak jelas, dan mengabaikan fakta bahwa kita sedang menyerahkan kendali opini dan pemikiran kita kepada sistem yang tidak peduli pada kualitas, melainkan hanya pada kuantitas klik dan tampilan.
Jadi, di manakah akhir dari semua ini? Apakah kita akan terus menyaksikan fenomena ini berkembang hingga suatu hari nanti ikan mas peliharaan atau bahkan boneka mainan menjadi duta besar pengaruh dunia? Siapa yang tahu? Yang jelas, dalam era beyond influence, batasan antara yang layak dan tidak layak, yang berarti dan tidak berarti, telah menjadi kabur. Dan mungkin itulah inti dari semuanya: pengaruh kini adalah permainan yang terbuka untuk semua, tanpa perlu bakat, akal, atau bahkan logika. Cukup dengan satu kamera, koneksi internet, dan sedikit keberuntungan, siapa pun—atau apa pun—bisa menjadi "seseorang." Selamat datang di era kekacauan digital!
Komentar
Posting Komentar