Langsung ke konten utama

Kalau Saya Bisa Kamu Belum Tentu Bisa



Hidup di era ini, motivasi bertebaran seperti iklan di internet: menarik perhatian, namun penuh tipu muslihat. Ada cerita si A, yang dulu dianggap bodoh karena tak lulus sekolah, tiba-tiba kuliah ke luar negeri. Lalu ada si B, si miskin yang bangkit dari nol menjadi kaya raya. "Lihat mereka!" seru para motivator. "Kalau mereka bisa, kamu juga bisa!" Sebuah kalimat emas yang sering diucapkan, tanpa mempertimbangkan kenyataan bahwa bagi sebagian besar orang, hidup itu lebih seperti lotere daripada peta jalan.

Mari kita kupas slogan "kalau saya bisa, kamu juga bisa." Oh, tentu, motivasi semacam ini terdengar indah di permukaan. Namun, di balik itu ada pesan tersembunyi: kalau kamu tidak berhasil, berarti itu salahmu sendiri. Apa yang mereka tidak katakan adalah bahwa keberhasilan sering kali merupakan kombinasi dari usaha, keberuntungan, dan peluang tiga hal yang tidak selalu tersedia secara adil.

Kita sering mendengar cerita inspiratif tentang mereka yang "melawan nasib." Namun, jarang ada yang berbicara tentang semua orang lain yang mencoba hal serupa tetapi gagal. Mereka yang tetap terjebak dalam roda kehidupan yang tidak adil ini, meskipun sudah bekerja keras hingga keringat mereka bisa mengisi kolam renang. Tapi ya, siapa peduli? Cerita mereka tidak menjual tiket seminar motivasi.

Dan mari kita bahas keberuntungan elemen yang paling sering diabaikan dalam cerita sukses. Siapa yang akan jujur mengakui bahwa kadang kala, mereka berada di tempat yang tepat pada waktu yang tepat, bertemu orang yang tepat? Tidak, tentu saja tidak. Sebaliknya, mereka akan mengatakan bahwa itu semua adalah hasil kerja keras mereka. Tidak ada yang mau mengakui bahwa mereka mungkin saja sedang berada di bawah bintang keberuntungan saat peluang datang mengetuk pintu.

Tapi, tunggu. Jangan salah paham. Ini bukan tentang menyalahkan mereka yang berhasil. Mereka pantas mendapatkan pujian. Namun, masalahnya adalah standar kesuksesan yang diromantisasi, seolah-olah hidup ini memiliki satu formula universal. Padahal, untuk setiap orang yang berhasil dengan satu cara, ada ratusan, bahkan ribuan orang lain yang telah mencoba hal yang sama tetapi tidak berhasil.

Ada pula mitos tentang "usaha tidak pernah mengkhianati hasil." Mitos ini begitu populer, seperti lagu lama yang terus diputar ulang meski sudah usang. Faktanya, ada banyak orang yang bekerja jauh lebih keras daripada mereka yang sukses, tetapi tetap terjebak di posisi yang sama. Apakah mereka malas? Tentu saja tidak. Mereka hanya tidak memiliki akses ke peluang yang sama, atau mungkin keberuntungan mereka sedang absen saat giliran mereka tiba.

Lalu, bagaimana dengan mereka yang tak beruntung? Apakah itu sepenuhnya kesalahan mereka? Apakah mereka harus menanggung beban stigma sebagai "pemalas" hanya karena nasib tidak berpihak pada mereka? Tidak semua orang yang bekerja keras akan berhasil, dan itu adalah kenyataan pahit yang sering diabaikan dalam narasi motivasi yang manis-manis pahit ini.

Jadi, apa yang sebenarnya dibutuhkan? Selain usaha, manusia membutuhkan peluang yang adil dan keberuntungan dua elemen yang sering kali berada di luar kendali individu. Namun, mengakui ini terlalu rumit bagi sebagian orang. Lebih mudah menjual mimpi bahwa semua orang punya peluang yang sama, meski kenyataannya dunia ini tidak beroperasi seperti itu.

Mungkin sudah waktunya kita berhenti mengidolakan cerita sukses yang hanya menggambarkan sebagian kecil dari kenyataan. Kita perlu narasi yang lebih jujur yang mengakui bahwa meskipun kerja keras itu penting, tidak semua orang memiliki titik awal yang sama, atau kesempatan yang sama untuk mencapai garis finis. Karena, mari jujur saja, hidup ini bukan tentang "kalau saya bisa, kamu juga bisa." Hidup ini lebih seperti permainan kartu dan tidak semua orang mendapatkan kartu yang bagus saat pembagian pertama.

Jadi, lain kali ketika seseorang berkata, "Kalau mereka bisa, kamu juga bisa," mungkin kita perlu menambahkan catatan kaki: dengan catatan, jika kamu cukup beruntung, berada di tempat yang tepat, dan memiliki akses ke peluang yang sama. Sayangnya, tidak semua orang seberuntung itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...