Langsung ke konten utama

Miskin Bukan Berarti Harus Bersyukur



Kemiskinan, dalam narasi populer, sering digambarkan sebagai sekolah kehidupan. Konon, orang miskin adalah manusia paling pandai bersyukur di muka bumi ini. Mereka mampu menikmati sepiring nasi dengan garam sambil memuji kebesaran Tuhan. Tapi, benarkah demikian? Jika begitu, apakah kita semua perlu menanggalkan harta benda dan berguru kepada mereka agar bisa belajar arti kebahagiaan sejati? Kalau itu solusinya, maka mari kita semua miskin, dan dunia pasti akan penuh dengan orang-orang bahagia yang hidupnya "termotivasi."

Namun kenyataan berkata lain. Kemiskinan itu bukan sesuatu yang harus kita syukuri. Alih-alih, ia adalah fenomena yang seharusnya kita pelajari. Mengapa kemiskinan ada? Bagaimana bisa seseorang jatuh ke dalam jurang kemiskinan? Apakah mereka kurang bekerja keras? Atau apakah ini hanya produk sampingan dari sistem yang tidak adil? Jawaban-jawaban ini jarang ditelusuri, karena lebih mudah untuk menyalahkan mereka yang miskin daripada bertanya apa yang salah dengan struktur sosial kita.

Dan mari kita hentikan mitos bahwa orang miskin selalu bersyukur. Tentu saja tidak. Di dalam dunia kemiskinan, konflik menjadi menu harian yang tak pernah usai. Ketika makanan tidak cukup untuk semua, bagaimana bisa ada syukur? Ketika satu keluarga berebut sesuap nasi, rasa terima kasih kepada Tuhan bisa saja kalah oleh rasa lapar yang mencekik. Akibatnya? Kriminalitas meningkat. Dalam banyak kasus, pencurian kecil-kecilan, perampokan, atau bahkan kekerasan domestik sering kali lahir dari perut yang kosong.

Sayangnya, masyarakat sering melihat orang miskin hanya sebagai bagian dari masalah, bukan manusia dengan kehidupan yang kompleks. Mereka yang mengemis di jalan dianggap "sampah masyarakat." Mereka yang mengamen dibilang mengganggu kenyamanan publik. Bahkan trik-trik kecil yang mereka lakukan untuk bertahan hidup—menjual tisu di lampu merah, menawarkan jasa cuci mobil secara paksa, atau mengemis dengan membawa bayi sebagai "atribut dramatis"—hanya memperkuat stigma bahwa kemiskinan adalah beban sosial.

Ironisnya, dalam pandangan sebagian orang, kemiskinan bukan hanya dianggap sebagai hasil dari kurangnya usaha, tetapi juga alat untuk menimbulkan rasa bersalah di kalangan yang lebih beruntung. "Bersyukurlah, masih ada yang lebih menderita dari kamu," begitu nasihat yang sering kita dengar. Seakan-akan penderitaan orang miskin adalah katalog motivasi untuk kita yang hidupnya lebih baik. Sungguh absurd, bukan? Bukannya membantu, kita justru menjadikan mereka alat penghibur bagi diri sendiri.

Kita sering lupa bahwa kemiskinan bukan mendatangkan kesyukuran, melainkan kekufuran. Dalam kondisi ekstrem, iman pun bisa luntur. Bagaimana mungkin seseorang bisa memuji kebesaran Tuhan ketika anaknya menangis kelaparan, istrinya sakit tetapi tak mampu berobat, dan dirinya sendiri dihantui utang? Kekufuran bukanlah pilihan, tetapi reaksi manusiawi terhadap tekanan hidup yang begitu kejam.

Namun, alih-alih memahami, kita malah menyederhanakan persoalan ini. "Orang miskin kurang bersyukur," kata mereka. Padahal, bersyukur tidak akan menghapus kemiskinan. Bersyukur tidak akan membayar biaya sekolah anak. Bersyukur tidak akan membangun rumah yang layak. Bahkan, jika bersyukur itu berbentuk rupiah, para orang miskin ini mungkin sudah jadi miliarder sejak dulu.

Jadi, bagaimana kita harus melihat kemiskinan? Apakah kita akan terus menjadikannya bahan motivasi, seperti cuplikan video viral yang menunjukkan seorang kakek tua menyantap makanan sederhana sambil tersenyum bahagia? Ataukah kita akhirnya akan belajar bahwa kemiskinan bukanlah sesuatu yang patut dirayakan, melainkan dilawan? Jawabannya ada pada kita semua. Karena sejatinya, kemiskinan bukanlah bukti dari kurangnya syukur, melainkan cerminan dari kegagalan sistem yang seharusnya melindungi kita semua.

Dan jika kemiskinan terus ada, mungkin pertanyaan yang lebih layak diajukan adalah: siapa sebenarnya yang harus bersyukur? Mereka yang miskin karena bertahan hidup dengan cara apa pun, atau kita yang hidup cukup namun terus menutup mata?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Struktural Keorganisasian Kampus

(Dokumen Pribadi) Jika kamu adalah anak kuliah tentu pasti sudah tahu apa itu organisasi kampus. Mungkin ada sedikit perbedaan antara organisasi kampus dengan organisasi lainnya. Jelasnya organisasi kampus tentunya diisi oleh mahasiswa dan tentunya pola pikir keorganisasian dan tujaunnya berbeda dengan organisasi diluar kampus. Organisasi kampus sendiri terdiri dari dua macam, ada organisasi intra kampus kampus dan organisasi ekstra kampus. Organisasi kampus ini seberulnya hampir mirip dengan sistem kenegaraan kita seperti eksekutif, legislatif dan partai politik. Organisasi kampus ini, bisa disebut juga sebagai miniatur negara, untuk lebih jelasnya saya akan jelaskan dibawah ini:  Organisasi Intra Kampus Definisi organisasi intra kampus sendiri ada di dalam aturan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 155/U/1998 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi (PUOK). Secara singkatnya organisasi intra kampus ini berada di bawah naungan kampus. Orga...

Antara Alam Pikiran dan Alam Realitas

Pernahkan kamu berfikir? Ya tentunya semua orang di dunia ini melakukan segala aktifitas dengan berfikir kecuali pada saat tidur dan pingsan. Hal yang unik dari manusia adalah manusia berbeda dengan fikirannya hewan. Hewan hanya berfikir berdasarkan insting naluri berfikirnya jika ada hewa-hewan cerdas seperti lumba-lumba dan  simpanse, mereka tentunya harus dilati terlebih dahulu. Tanpa dilatih mereka hanya hewan biasa walaupun di katakan hewan cerdas pun pemikiran mereka tetap saja tidak bisa berkembang. (Pixlab.com) Manusia tentunya memiliki kelebihan dibandingkan dengan hewan lain yakni pikiran, dengan pikiran manusia bisa melakukan hal yang sulit menjadi mudah, membuat hal yang kreatif dan inovatif, berimajinasi, berlogika, mempelajari hal baru dan masih banyak yang lainnya. Sejauh ini peradaban diciptakan oleh manusia dari masa-masa, manusia mempelajari hal baru dan ilmi-ilmu baru. Berbicara tentang pemikiram ini tentunya adalah hal yang unik, karena setiap orang memiliki tin...

Buat Apa Kita Belajar

Pertanyaan ini sebetulnya adalah pertanyaan yang kurang kerjaan, tetapi memang perlu kita pikirkan bersama. Memang sudah jelas tujuan belajar adalah menjadi orang yang pintar. Tetapi menurut saya itu bukan jawaban yang tepat. mengapa itu bukan jawaban yang tepat, karena kita harus lihat dulu tujuan dari belajar itu sendiri. Jujur saya orang yang senang belajar tetapi saya kurang suka pelajaran di sekolah, karena orientasinya hanya sekedar nilai. Mungkin ini tidak sesuai dengan stigma masyarakat. (Pixabay.com) Kita tentunya harus mengubah tujuan dari belajar. Jika kita belajar rajin mengerjakan PR, rangking satu, ujian selalu baik tentunya itu adalah anak yang pintar. Padahal itu bukan orang yang pintar, tetapi dia hanya ingin dipandang baik masyarakat (sekolah) makanya harus rajin agar dipuji oleh banyak orang. Jika kamu merasa puas ketika dipuji karena rangking satu tentunya sangat puas. Tetapi puasnya hanya cukup disitu saja. Setelah ia puas maka ya sudah pelajaran yang telah lalu di...