Langsung ke konten utama

Generasi yang Melompat ke Jurang



Bayangkan suatu hari, kita hidup di era di mana melompat ke jurang bukan lagi sebuah tragedi, melainkan tradisi. Luka-luka yang menghiasi tubuh bukan tanda perjuangan, tetapi simbol kebanggaan. "Sudah berapa kali kamu melompat hari ini?" tanya seseorang dengan nada santai, seperti sedang bertanya apakah sudah minum kopi pagi ini. Inilah generasi yang merasa bahwa jatuh ke jurang berkali-kali adalah bentuk pemberontakan terhadap gravitasi, meski sebenarnya mereka hanya menentang akal sehat.

Namun, jangan salah paham. Ini bukan sekadar tentang keberanian individu untuk melukai dirinya sendiri. Generasi ini tumbuh dari akar yang subur—akar ketidakpedulian. Orang tua, yang seharusnya menjadi pemimpin kebun kehidupan, telah menyerah sebelum perang dimulai. Mereka berkata, "Biarkan anak-anak menemukan jalannya sendiri," tetapi lupa bahwa jalan yang mereka temukan adalah jalan menuju kehancuran. Anak-anak ini, bebas seperti burung, terbang dengan sayap yang rapuh ke arah badai yang mereka ciptakan sendiri.

Maka, jangan heran jika dunia ini penuh dengan remaja yang merasa hidup adalah pesta tanpa akhir. Kekerasan? Itu hanya hiburan sore. Narkoba? Seperti camilan sebelum makan malam. Pesta seks? Itu tentu lebih menarik daripada duduk mendengarkan ceramah moral di ruang tamu. Mereka menyebut ini "kemajuan," tetapi sebenarnya, ini adalah kejatuhan. Mereka bukan melompat maju; mereka melompat ke dalam lubang yang lebih dalam, sambil mengira itu adalah pintu gerbang ke surga kebebasan.

Yang membuat ini semakin menarik adalah dukungan pemerintah yang, dengan wajah serius, berkata, "Kita harus menghormati pilihan hidup setiap individu." Maka, kekerasan di jalanan, anak-anak yang mabuk di sudut-sudut kota, dan angka kehamilan remaja yang melonjak dianggap sebagai statistik yang wajar. "Ini bagian dari perkembangan masyarakat modern," kata mereka, sambil menandatangani undang-undang yang melegalkan kehancuran moral.

Di tengah hiruk-pikuk ini, ada sedikit orang yang mencoba bersuara. Mereka yang masih percaya bahwa hidup adalah tentang membangun, bukan menghancurkan. Tapi suara mereka tenggelam di lautan kebisingan, ditertawakan sebagai "kolot," "kuno," atau "tidak mengikuti zaman." Mereka dipinggirkan, dianggap gangguan dalam parade besar menuju kiamat sosial.

Namun, alam punya cara kerjanya sendiri. Generasi yang melompat ke jurang ini akhirnya menemui ujungnya. Tidak ada yang bisa melawan gravitasi selamanya. Luka-luka yang terus dibanggakan berubah menjadi borok yang tak bisa disembuhkan. Tubuh-tubuh yang dulu melompat dengan gagah akhirnya tergeletak di dasar jurang, menjadi bukti bisu dari kebodohan yang dilestarikan.

Ketika debu mulai mereda, hanya segelintir orang yang bertahan—mereka yang memilih jalan berbeda. Orang-orang yang sadar bahwa kebaikan, meski sering kalah dalam pertarungan singkat, selalu menang dalam perang panjang. Dari mereka, sebuah generasi baru mulai tumbuh. Generasi yang memahami bahwa kebebasan tanpa tanggung jawab bukanlah kebebasan, melainkan penjara. Generasi yang melihat luka sebagai pelajaran, bukan kebanggaan.

Ironisnya, generasi baru ini mungkin akan dipandang sebagai anomali. Mereka yang hidup dengan prinsip kebaikan akan dianggap "aneh" di dunia yang pernah mendewakan keburukan. Tapi tidak apa-apa. Dari keanehan itulah, dunia akan kembali menemukan keseimbangannya.

Jadi, jika Anda melihat generasi yang melompat ke jurang, jangan terlalu khawatir. Alam semesta selalu memiliki cara untuk membersihkan dirinya sendiri. Ketika mereka yang melompat habis, yang tersisa hanyalah mereka yang cukup bijak untuk melihat jurang dari kejauhan dan berkata, "Tidak, terima kasih." Dan dari situlah, siklus baru kehidupan akan dimulai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Struktural Keorganisasian Kampus

(Dokumen Pribadi) Jika kamu adalah anak kuliah tentu pasti sudah tahu apa itu organisasi kampus. Mungkin ada sedikit perbedaan antara organisasi kampus dengan organisasi lainnya. Jelasnya organisasi kampus tentunya diisi oleh mahasiswa dan tentunya pola pikir keorganisasian dan tujaunnya berbeda dengan organisasi diluar kampus. Organisasi kampus sendiri terdiri dari dua macam, ada organisasi intra kampus kampus dan organisasi ekstra kampus. Organisasi kampus ini seberulnya hampir mirip dengan sistem kenegaraan kita seperti eksekutif, legislatif dan partai politik. Organisasi kampus ini, bisa disebut juga sebagai miniatur negara, untuk lebih jelasnya saya akan jelaskan dibawah ini:  Organisasi Intra Kampus Definisi organisasi intra kampus sendiri ada di dalam aturan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 155/U/1998 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi (PUOK). Secara singkatnya organisasi intra kampus ini berada di bawah naungan kampus. Orga...

Antara Alam Pikiran dan Alam Realitas

Pernahkan kamu berfikir? Ya tentunya semua orang di dunia ini melakukan segala aktifitas dengan berfikir kecuali pada saat tidur dan pingsan. Hal yang unik dari manusia adalah manusia berbeda dengan fikirannya hewan. Hewan hanya berfikir berdasarkan insting naluri berfikirnya jika ada hewa-hewan cerdas seperti lumba-lumba dan  simpanse, mereka tentunya harus dilati terlebih dahulu. Tanpa dilatih mereka hanya hewan biasa walaupun di katakan hewan cerdas pun pemikiran mereka tetap saja tidak bisa berkembang. (Pixlab.com) Manusia tentunya memiliki kelebihan dibandingkan dengan hewan lain yakni pikiran, dengan pikiran manusia bisa melakukan hal yang sulit menjadi mudah, membuat hal yang kreatif dan inovatif, berimajinasi, berlogika, mempelajari hal baru dan masih banyak yang lainnya. Sejauh ini peradaban diciptakan oleh manusia dari masa-masa, manusia mempelajari hal baru dan ilmi-ilmu baru. Berbicara tentang pemikiram ini tentunya adalah hal yang unik, karena setiap orang memiliki tin...

Buat Apa Kita Belajar

Pertanyaan ini sebetulnya adalah pertanyaan yang kurang kerjaan, tetapi memang perlu kita pikirkan bersama. Memang sudah jelas tujuan belajar adalah menjadi orang yang pintar. Tetapi menurut saya itu bukan jawaban yang tepat. mengapa itu bukan jawaban yang tepat, karena kita harus lihat dulu tujuan dari belajar itu sendiri. Jujur saya orang yang senang belajar tetapi saya kurang suka pelajaran di sekolah, karena orientasinya hanya sekedar nilai. Mungkin ini tidak sesuai dengan stigma masyarakat. (Pixabay.com) Kita tentunya harus mengubah tujuan dari belajar. Jika kita belajar rajin mengerjakan PR, rangking satu, ujian selalu baik tentunya itu adalah anak yang pintar. Padahal itu bukan orang yang pintar, tetapi dia hanya ingin dipandang baik masyarakat (sekolah) makanya harus rajin agar dipuji oleh banyak orang. Jika kamu merasa puas ketika dipuji karena rangking satu tentunya sangat puas. Tetapi puasnya hanya cukup disitu saja. Setelah ia puas maka ya sudah pelajaran yang telah lalu di...