Langsung ke konten utama

Realitas Itu Menyakitkan



Dalam dunia yang semakin kompleks ini, kita sering kali terjebak dalam rutinitas yang tampaknya tidak ada ujungnya. Hidup seperti sebuah sirkus, di mana kita adalah badut yang terus berusaha menghibur penonton, sementara di dalam hati kita hanya ada rasa hampa dan putus asa. Pendidikan yang kita tempuh dari SD hingga S2 seolah menjadi tiket masuk ke dunia kerja, tetapi apa gunanya jika pintu-pintu itu terkunci rapat? 

Realitas Pekerjaan yang Menyakitkan

Mencari pekerjaan di Indonesia saat ini seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Dengan tingkat pengangguran yang terus meningkat, terutama di kalangan lulusan baru, harapan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak semakin sirna. Kualifikasi yang ditetapkan oleh perusahaan semakin tidak realistis; mereka menginginkan pengalaman bertahun-tahun untuk posisi entry-level, sementara kita masih terjebak dalam lingkaran tanpa akhir dari penolakan dan kegagalan[1][4}

Kita telah berusaha keras, menghabiskan waktu dan uang untuk pendidikan, tetapi hasilnya sering kali tidak sebanding. Ketika kita mencoba melamar pekerjaan, sering kali kita dihadapkan pada kriteria yang mustahil dipenuhi. Misalnya, banyak lowongan yang meminta keterampilan teknis yang tidak diajarkan di sekolah atau universitas. Akibatnya, banyak dari kita merasa frustasi dan kehilangan motivasi[2][3].

Kekecewaan yang Berulang

Setiap kali kita menerima kabar buruk—gagal lulus tes atau ditolak lamaran—itu seperti ditampar keras oleh kenyataan. Kekecewaan demi kekecewaan menjadi bagian dari rutinitas harian kita. Uang untuk melamar kerja pun menipis, dan terpaksa harus kembali ke rumah orang tua karena tidak ada biaya lagi. Di saat-saat seperti ini, pikiran untuk menyerah pun muncul. Kenapa harus terus bertahan jika hidup hanya dipenuhi dengan rasa sakit dan ketidakpastian? 

Sering kali, ketika kita berbagi keluhan dengan orang lain, jawaban yang kita terima hanyalah "sabar." Sabar sudah menjadi makanan sehari-hari bagi kita; seolah-olah sabar adalah solusi tunggal untuk semua masalah. Namun, sabar tanpa tindakan nyata hanya akan membuat kita semakin muak dan frustrasi[5][6]. 

Kehidupan dalam Lingkaran Setan

Kita hidup dalam lingkaran setan: pendidikan tinggi tetapi pekerjaan rendah; harapan tinggi tetapi kenyataan rendah. Banyak lulusan terpaksa menerima pekerjaan di sektor informal dengan gaji yang tidak layak, sementara mereka memiliki gelar sarjana atau bahkan pascasarjana[2][4]. Ini menciptakan fenomena underemployment, di mana orang-orang bekerja di posisi yang jauh di bawah kualifikasi mereka.

Di sisi lain, perusahaan juga mengeluhkan kesulitan menemukan calon karyawan yang memenuhi kriteria mereka. Sebanyak 46% perusahaan mengalami kesenjangan antara kualifikasi yang dibutuhkan dan keterampilan pencari kerja[3]. Jadi, siapa sebenarnya yang salah dalam permainan ini? Apakah kita sebagai pencari kerja atau sistem pendidikan dan industri yang tidak sinkron?

Mencari Titik Terang

Ketika hidup terasa gelap gulita dan tanpa arah, penting untuk mencari titik terang meskipun itu tampak sulit. Mungkin saatnya untuk berpikir out of the box: alih-alih menunggu panggilan dari perusahaan besar, mengapa tidak mencoba berwirausaha atau mengeksplorasi bidang lain? Di era digital ini, peluang untuk menciptakan lapangan kerja sendiri lebih terbuka lebar[6][7].

Namun, meskipun ada harapan untuk masa depan yang lebih baik, tantangan tetap ada. Kita perlu dukungan sistemik—dari pemerintah hingga institusi pendidikan—agar bisa menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi para pencari kerja. Tanpa adanya perubahan nyata dalam cara perusahaan merekrut dan cara pendidikan mempersiapkan lulusannya, kita akan terus terjebak dalam siklus ini.

Dalam perjalanan hidup ini, meskipun sabar adalah hal yang penting, tindakan nyata adalah kunci untuk membuka pintu-pintu kesempatan. Kita harus berani mengambil langkah-langkah kecil menuju perubahan—baik itu melalui pendidikan tambahan atau mencari mentor—agar bisa keluar dari lingkaran setan ini dan menemukan jalan menuju masa depan yang lebih cerah.


Citations:

[1] https://news.detik.com/kolom/d-7583233/kualifikasi-pekerjaan-yang-tidak-realistis-dan-lingkaran-pengangguran

[2] https://kumparan.com/putri-puspitasari-1728791401471511195/sulitnya-mencari-kerja-problematika-anak-muda-di-indonesia-23htXbykhVk

[3] https://www.antaranews.com/berita/4283971/riset-46-persen-perusahaan-kesulitan-cari-calon-karyawan

[4] https://www.kompasiana.com/ardibagusprasetyo/6666a03634777c7d7b52b062/benarkah-mencari-pekerjaan-di-era-sekarang-begitu-sulit-bagi-sebagian-orang

[5] https://talenesia.com/blog/ini-5-alasan-kenapa-makin-sulit-dapat-kerja-di-indonesia/

[6] https://www.bloombergtechnoz.com/detail-news/44886/phk-di-mana-mana-orang-indonesia-makin-susah-cari-kerja

[7] https://stekom.ac.id/artikel/kenapa-sekarang-cari-kerja-susah

[8] https://www.metrotvnews.com/read/b2lCVgP8-tergantikan-teknologi-masyarakat-indonesia-akan-alami-kesulitan-mencari-pekerjaan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...