Langsung ke konten utama

Nasib Seorang Jomblo

 



Bagi sebagian orang, menjadi jomblo mungkin adalah sebuah pilihan. Namun bagi sebagian lainnya, status ini bukanlah sesuatu yang mereka inginkan, melainkan kondisi yang terpaksa diterima. Seorang pria yang memilih untuk tetap sendiri, bukan karena ia tak ingin berbagi hidup dengan seseorang, melainkan karena ia merasa belum cukup layak, belum cukup mapan. Baginya, cinta bukan hanya soal rasa, tetapi juga tanggung jawab.

Ia paham bahwa membangun sebuah hubungan bukan sekadar soal janji manis dan rasa saling suka. Ada kebutuhan yang harus dipenuhi, baik secara emosional maupun material. Bagaimana mungkin ia mengajak seseorang masuk ke dalam hidupnya, jika dirinya sendiri masih berjuang keras untuk berdiri tegak? Bagaimana ia bisa menjanjikan kebahagiaan kepada orang lain jika dirinya saja kerap terjebak dalam rasa tidak percaya diri? Maka, ia memilih jalan yang dianggap paling rasional: bertahan sendiri.

Namun, keputusan ini bukan tanpa konsekuensi. Dalam kesendirian, ia harus menghadapi berbagai tekanan, baik dari dalam dirinya sendiri maupun dari lingkungan sekitar. Teman-temannya mulai menikah satu per satu, membangun keluarga, dan membicarakan rencana masa depan dengan pasangan mereka. Sementara ia, yang duduk sendirian di pojok ruangan, hanya bisa tersenyum hambar sambil mendengarkan cerita-cerita itu.

Rasa cemas dan minder kerap datang menyapa, terutama ketika ia melihat orang yang dicintainya jatuh ke pelukan orang lain—seseorang yang dianggap lebih mampu, lebih mapan, lebih siap. Meski hatinya menjerit, ia tahu ia tak bisa menyalahkan siapa pun. Ia merelakan, karena baginya, cinta sejati adalah soal memberikan yang terbaik untuk orang yang dicintai, meski itu berarti melepaskannya kepada orang lain.

Namun, siapa yang menguatkan pria seperti ini? Dalam kesendirian, ia hanya punya dirinya sendiri. Ketika rasa sedih datang menyerang, ia harus menelan semuanya sendirian. Ketika ia ingin bercerita, tak ada bahu untuk bersandar. Ia hanya bisa memendam segala emosi dalam dirinya, seperti menumpuk air di bendungan yang semakin penuh.

Prestasi yang ia capai pun, meski mungkin membanggakan, terasa hampa karena tak ada orang yang benar-benar mengapresiasinya. Ia bekerja keras, berjuang untuk menjadi mapan, tetapi apa artinya semua itu jika tak ada orang terkasih yang menemani? Kehidupan yang ia jalani terasa seperti perlombaan panjang tanpa garis finis, tanpa tepuk tangan, tanpa perayaan.

Ironisnya, pria seperti ini sering kali dipandang sebelah mata. Sebagian orang mungkin menganggapnya pengecut, seseorang yang takut berkomitmen atau terlalu sibuk mencari kesempurnaan. Padahal, apa yang ia lakukan justru lahir dari rasa tanggung jawab yang besar. Ia tidak ingin menjadi beban bagi pasangan, tidak ingin memberikan janji kosong.

Namun, apakah keputusan ini benar-benar adil bagi dirinya? Apakah menunggu hingga "mapan" adalah solusi yang tepat, atau justru sebuah jebakan yang membuatnya kehilangan banyak kesempatan untuk merasakan kebahagiaan? Dunia ini tidak pernah benar-benar siap. Tidak ada waktu yang sempurna. Mapan atau tidak, cinta sejati adalah tentang perjalanan bersama, saling mendukung, dan tumbuh bersama.

Mungkin, di tengah perjuangan ini, pria itu harus belajar untuk memberi ruang bagi dirinya sendiri. Bukan hanya untuk bekerja keras, tetapi juga untuk menerima bahwa cinta adalah tentang berbagi, bukan sekadar tentang memberi. Kesendirian memang bisa menjadi pilihan yang mulia, tetapi cinta, jika diberikan kesempatan, bisa menjadi penyembuh bagi segala ketakutan dan kekhawatiran.

Pada akhirnya, menjadi jomblo bukanlah akhir dari segalanya. Bagi pria ini, mungkin ini adalah fase untuk memahami dirinya sendiri, memperbaiki apa yang perlu diperbaiki, dan mempersiapkan diri untuk suatu hari nanti—hari ketika ia siap, tidak sempurna tetapi cukup, untuk membuka hati dan berbagi hidup dengan seseorang yang ia cintai. Dan sampai hari itu tiba, ia akan terus berjalan, dengan langkah-langkah kecil yang penuh harapan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Struktural Keorganisasian Kampus

(Dokumen Pribadi) Jika kamu adalah anak kuliah tentu pasti sudah tahu apa itu organisasi kampus. Mungkin ada sedikit perbedaan antara organisasi kampus dengan organisasi lainnya. Jelasnya organisasi kampus tentunya diisi oleh mahasiswa dan tentunya pola pikir keorganisasian dan tujaunnya berbeda dengan organisasi diluar kampus. Organisasi kampus sendiri terdiri dari dua macam, ada organisasi intra kampus kampus dan organisasi ekstra kampus. Organisasi kampus ini seberulnya hampir mirip dengan sistem kenegaraan kita seperti eksekutif, legislatif dan partai politik. Organisasi kampus ini, bisa disebut juga sebagai miniatur negara, untuk lebih jelasnya saya akan jelaskan dibawah ini:  Organisasi Intra Kampus Definisi organisasi intra kampus sendiri ada di dalam aturan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 155/U/1998 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi (PUOK). Secara singkatnya organisasi intra kampus ini berada di bawah naungan kampus. Orga...

Antara Alam Pikiran dan Alam Realitas

Pernahkan kamu berfikir? Ya tentunya semua orang di dunia ini melakukan segala aktifitas dengan berfikir kecuali pada saat tidur dan pingsan. Hal yang unik dari manusia adalah manusia berbeda dengan fikirannya hewan. Hewan hanya berfikir berdasarkan insting naluri berfikirnya jika ada hewa-hewan cerdas seperti lumba-lumba dan  simpanse, mereka tentunya harus dilati terlebih dahulu. Tanpa dilatih mereka hanya hewan biasa walaupun di katakan hewan cerdas pun pemikiran mereka tetap saja tidak bisa berkembang. (Pixlab.com) Manusia tentunya memiliki kelebihan dibandingkan dengan hewan lain yakni pikiran, dengan pikiran manusia bisa melakukan hal yang sulit menjadi mudah, membuat hal yang kreatif dan inovatif, berimajinasi, berlogika, mempelajari hal baru dan masih banyak yang lainnya. Sejauh ini peradaban diciptakan oleh manusia dari masa-masa, manusia mempelajari hal baru dan ilmi-ilmu baru. Berbicara tentang pemikiram ini tentunya adalah hal yang unik, karena setiap orang memiliki tin...

Buat Apa Kita Belajar

Pertanyaan ini sebetulnya adalah pertanyaan yang kurang kerjaan, tetapi memang perlu kita pikirkan bersama. Memang sudah jelas tujuan belajar adalah menjadi orang yang pintar. Tetapi menurut saya itu bukan jawaban yang tepat. mengapa itu bukan jawaban yang tepat, karena kita harus lihat dulu tujuan dari belajar itu sendiri. Jujur saya orang yang senang belajar tetapi saya kurang suka pelajaran di sekolah, karena orientasinya hanya sekedar nilai. Mungkin ini tidak sesuai dengan stigma masyarakat. (Pixabay.com) Kita tentunya harus mengubah tujuan dari belajar. Jika kita belajar rajin mengerjakan PR, rangking satu, ujian selalu baik tentunya itu adalah anak yang pintar. Padahal itu bukan orang yang pintar, tetapi dia hanya ingin dipandang baik masyarakat (sekolah) makanya harus rajin agar dipuji oleh banyak orang. Jika kamu merasa puas ketika dipuji karena rangking satu tentunya sangat puas. Tetapi puasnya hanya cukup disitu saja. Setelah ia puas maka ya sudah pelajaran yang telah lalu di...