Bagi sebagian orang, menjadi jomblo mungkin adalah sebuah pilihan. Namun bagi sebagian lainnya, status ini bukanlah sesuatu yang mereka inginkan, melainkan kondisi yang terpaksa diterima. Seorang pria yang memilih untuk tetap sendiri, bukan karena ia tak ingin berbagi hidup dengan seseorang, melainkan karena ia merasa belum cukup layak, belum cukup mapan. Baginya, cinta bukan hanya soal rasa, tetapi juga tanggung jawab.
Ia paham bahwa membangun sebuah hubungan bukan sekadar soal janji manis dan rasa saling suka. Ada kebutuhan yang harus dipenuhi, baik secara emosional maupun material. Bagaimana mungkin ia mengajak seseorang masuk ke dalam hidupnya, jika dirinya sendiri masih berjuang keras untuk berdiri tegak? Bagaimana ia bisa menjanjikan kebahagiaan kepada orang lain jika dirinya saja kerap terjebak dalam rasa tidak percaya diri? Maka, ia memilih jalan yang dianggap paling rasional: bertahan sendiri.
Namun, keputusan ini bukan tanpa konsekuensi. Dalam kesendirian, ia harus menghadapi berbagai tekanan, baik dari dalam dirinya sendiri maupun dari lingkungan sekitar. Teman-temannya mulai menikah satu per satu, membangun keluarga, dan membicarakan rencana masa depan dengan pasangan mereka. Sementara ia, yang duduk sendirian di pojok ruangan, hanya bisa tersenyum hambar sambil mendengarkan cerita-cerita itu.
Rasa cemas dan minder kerap datang menyapa, terutama ketika ia melihat orang yang dicintainya jatuh ke pelukan orang lain—seseorang yang dianggap lebih mampu, lebih mapan, lebih siap. Meski hatinya menjerit, ia tahu ia tak bisa menyalahkan siapa pun. Ia merelakan, karena baginya, cinta sejati adalah soal memberikan yang terbaik untuk orang yang dicintai, meski itu berarti melepaskannya kepada orang lain.
Namun, siapa yang menguatkan pria seperti ini? Dalam kesendirian, ia hanya punya dirinya sendiri. Ketika rasa sedih datang menyerang, ia harus menelan semuanya sendirian. Ketika ia ingin bercerita, tak ada bahu untuk bersandar. Ia hanya bisa memendam segala emosi dalam dirinya, seperti menumpuk air di bendungan yang semakin penuh.
Prestasi yang ia capai pun, meski mungkin membanggakan, terasa hampa karena tak ada orang yang benar-benar mengapresiasinya. Ia bekerja keras, berjuang untuk menjadi mapan, tetapi apa artinya semua itu jika tak ada orang terkasih yang menemani? Kehidupan yang ia jalani terasa seperti perlombaan panjang tanpa garis finis, tanpa tepuk tangan, tanpa perayaan.
Ironisnya, pria seperti ini sering kali dipandang sebelah mata. Sebagian orang mungkin menganggapnya pengecut, seseorang yang takut berkomitmen atau terlalu sibuk mencari kesempurnaan. Padahal, apa yang ia lakukan justru lahir dari rasa tanggung jawab yang besar. Ia tidak ingin menjadi beban bagi pasangan, tidak ingin memberikan janji kosong.
Namun, apakah keputusan ini benar-benar adil bagi dirinya? Apakah menunggu hingga "mapan" adalah solusi yang tepat, atau justru sebuah jebakan yang membuatnya kehilangan banyak kesempatan untuk merasakan kebahagiaan? Dunia ini tidak pernah benar-benar siap. Tidak ada waktu yang sempurna. Mapan atau tidak, cinta sejati adalah tentang perjalanan bersama, saling mendukung, dan tumbuh bersama.
Mungkin, di tengah perjuangan ini, pria itu harus belajar untuk memberi ruang bagi dirinya sendiri. Bukan hanya untuk bekerja keras, tetapi juga untuk menerima bahwa cinta adalah tentang berbagi, bukan sekadar tentang memberi. Kesendirian memang bisa menjadi pilihan yang mulia, tetapi cinta, jika diberikan kesempatan, bisa menjadi penyembuh bagi segala ketakutan dan kekhawatiran.
Pada akhirnya, menjadi jomblo bukanlah akhir dari segalanya. Bagi pria ini, mungkin ini adalah fase untuk memahami dirinya sendiri, memperbaiki apa yang perlu diperbaiki, dan mempersiapkan diri untuk suatu hari nanti—hari ketika ia siap, tidak sempurna tetapi cukup, untuk membuka hati dan berbagi hidup dengan seseorang yang ia cintai. Dan sampai hari itu tiba, ia akan terus berjalan, dengan langkah-langkah kecil yang penuh harapan.
Komentar
Posting Komentar