Berimajinasilah, maka kita akan melihat masa depan—sebuah nasihat klasik yang sering terdengar di seminar motivasi, buku-buku self-help, atau mungkin dari mulut seorang teman yang mendadak jadi filsuf dadakan. Tapi mari kita akui, imajinasi adalah senjata paling ampuh yang dimiliki manusia. Tanpanya, kita mungkin masih berburu mamut dengan tombak kayu, bukannya memesan makan siang lewat aplikasi di ponsel pintar.
Namun, uniknya, imajinasi sering kali dianggap hal yang remeh. "Jangan menghayal terus, nanti lupa makan!" ujar ibu-ibu pada anak-anaknya yang menatap awan sambil membayangkan menjadi superhero. Ironisnya, tanpa imajinasi yang konyol, laptop yang Anda gunakan untuk membaca ini tak akan pernah ada. Bayangkan saja: di masa lalu, ada seseorang yang memandang pena dan kertas sambil berpikir, "Bagaimana kalau menulis bisa dilakukan tanpa tinta, tanpa kertas, dan tanpa perlu menyeka noda tinta di baju?" Orang itu mungkin dianggap gila oleh tetangganya, tapi lihatlah kita sekarang—mengetik cepat sambil menyeruput kopi, tanpa tinta, tanpa kertas, dan tanpa batas.
Mari kita berimajinasi lebih jauh lagi. Bagaimana kalau ada pintu ke mana saja? Sebuah pintu yang memungkinkan kita melangkah dari kamar tidur langsung ke Paris, Tokyo, atau bahkan ke galaksi lain, tanpa harus melewati antrian bandara yang panjang atau membayar tiket pesawat yang harganya lebih mahal dari gaji sebulan. Fantastis, bukan? Tapi, seperti biasa, imajinasi semacam ini akan mendapat cibiran: "Jangan mimpi, itu cuma ada di kartun."
Namun, bukankah segala sesuatu yang kita miliki saat ini dulu hanyalah "mimpi kartun"? Televisi, misalnya, dulu hanyalah angan-angan orang yang bosan mendengar berita dari koran. Smartphone? Sebelumnya hanya ada di film fiksi ilmiah, digunakan oleh tokoh yang berbicara dengan layar kecil di tangannya. Jadi, kenapa pintu ke mana saja tidak bisa jadi kenyataan suatu hari nanti?
Bayangkan dunia dengan pintu ke mana saja. Tidak perlu lagi antre busway yang penuh sesak. Tidak ada lagi alasan telat datang ke kantor karena macet. Dunia akan menjadi efisien, atau setidaknya itulah yang kita pikirkan. Namun, seperti semua teknologi, pasti ada sisi gelapnya. Bayangkan para maling yang bisa masuk ke rumah Anda tanpa ketahuan, cukup lewat pintu mereka sendiri yang langsung terhubung ke ruang tamu Anda. Atau, bagaimana dengan para politisi korup yang bisa kabur ke luar negeri dalam sekejap, tanpa harus pusing memikirkan paspor dan visa?
Imajinasi, meskipun indah, selalu datang dengan harga. Sama seperti laptop yang dulu kita pikir hanya akan digunakan untuk menulis dan bekerja, kini menjadi alat untuk menonton video kucing atau berdebat tanpa arah di media sosial. Pintar? Tentu. Efisien? Mungkin. Tapi terkadang, kita lupa bahwa teknologi yang lahir dari imajinasi juga membawa konsekuensi yang tidak terbayangkan.
Lalu, apakah kita harus berhenti berimajinasi? Tentu tidak. Imajinasi adalah bahan bakar peradaban, mesin waktu yang membawa kita ke masa depan. Tapi mungkin, ada baiknya kita juga sedikit berhati-hati dalam bermimpi. Jangan sampai, seperti kata pepatah modern, "Harapan tinggal harapan, yang ada hanya angsuran."
Jadi, sementara pintu ke mana saja belum ditemukan, mari kita nikmati imajinasi ini. Siapa tahu, 100 atau 1.000 tahun lagi, seseorang akan melihat tulisan ini sambil berkata, "Hei, ada orang di masa lalu yang sudah memikirkan ide ini! Betapa visionernya dia!" Dan jika itu terjadi, setidaknya imajinasi Anda tidak sia-sia. Karena, pada akhirnya, dunia yang kita tinggali sekarang adalah hasil dari imajinasi orang-orang konyol di masa lalu.
Komentar
Posting Komentar