Pernahkah terlintas dalam benakmu keinginan untuk menjadi abadi? Hidup tanpa batas, tanpa pusing memikirkan makanan, tanpa khawatir akan waktu yang terus berdetak. Bayangkan, tak ada lagi kebutuhan mendasar yang membuatmu repot. Tubuh tak lagi rapuh, pikiran tak lagi diburu oleh ketakutan akan kematian. Dalam keabadian, ada kesempatan tanpa henti untuk mengeksplorasi segala hal—pengetahuan, seni, alam semesta, bahkan menjelajahi makna keberadaan itu sendiri.
Namun, mengapa manusia tidak diciptakan abadi? Mengapa hidup hanya sebuah fragmen kecil yang rapuh, seperti embun yang menghilang saat matahari mulai meninggi? Barangkali, inilah pertanyaan yang terus menghantui mereka yang mencoba memahami takdir. Sebuah ironi terselubung ada di sini: manusia yang diberi umur pendek justru sering menyia-nyiakan waktunya, sementara keinginan untuk hidup selamanya tetap menjadi bayang-bayang yang tak terjangkau.
Kehidupan ini, dengan segala keterbatasannya, menjadi panggung tempat manusia bermain peran. Mereka harus makan, bekerja, mencintai, dan berjuang, semua dalam batasan yang fana. Namun, batasan inilah yang menciptakan dinamika, yang memaksa manusia untuk bergerak, untuk belajar, dan untuk berubah. Bayangkan dunia di mana tak ada batasan—semua orang hidup abadi, tak pernah lapar, tak pernah lelah. Bukankah dunia seperti itu justru kehilangan tantangan, kehilangan gairah untuk berkembang?
Namun, keabadian bukan tanpa risiko. Bayangkan seorang penguasa zalim yang diberi hidup seribu tahun. Ia akan menguasai dunia tanpa tanding, memperpanjang kekuasaannya dengan keabadian yang tak tertandingi. Ketika kekuatan hanya berada di satu tangan, dunia akan menjadi tempat yang suram, penuh ketidakadilan yang tak pernah usai. Maka, apa jadinya jika kekuatan itu diberikan kepada dua pihak—sang penguasa zalim dan seorang pemberontak tangguh? Bukankah itu hanya akan menciptakan peperangan tanpa akhir?
Dalam bayangan itu, dunia menjadi panggung pertempuran yang tak pernah selesai. Setiap pihak terus bertarung, memperjuangkan ideologi mereka masing-masing, tanpa batas waktu, tanpa akhir. Mungkin hanya ada dua kemungkinan: kehancuran total atau perjanjian damai yang rapuh. Namun, bahkan dalam perdamaian, keabadian tetap menjadi jebakan. Tanpa batas waktu, manusia kehilangan urgensi untuk berubah, kehilangan motivasi untuk memperbaiki.
Mungkin itulah mengapa manusia harus memiliki batas. Seperti sebuah sandiwara, cerita hidup manusia membutuhkan akhir agar bisa bermakna. Dunia, dengan segala dinamikanya, membutuhkan pergantian pemain agar tetap hidup, agar tetap segar. Ketika pemain lama pergi, mereka meninggalkan panggung untuk generasi berikutnya. Dalam perputaran ini, dunia terus berevolusi, menemukan wajah-wajah baru, cerita-cerita baru.
Keabadian mungkin tampak seperti anugerah, tetapi ia juga membawa kebosanan. Jika hidup hanya diisi oleh wajah-wajah yang sama, ide-ide yang itu-itu saja, bukankah dunia akan kehilangan maknanya? Mungkin, dalam keterbatasan, manusia menemukan keindahan. Dalam kesementaraan, mereka belajar menghargai setiap momen, belajar mencintai dalam keterbatasan, dan menemukan arti dari kehidupan itu sendiri.
Keinginan untuk abadi adalah refleksi dari ketakutan manusia akan hilangnya eksistensi. Namun, barangkali, justru keterbatasan inilah yang membuat manusia benar-benar hidup. Dunia tidak membutuhkan keabadian, tetapi pergantian. Kehidupan ini, meski singkat, adalah panggung yang cukup besar untuk setiap pemain memberikan yang terbaik sebelum tirai akhirnya ditutup. Dan dalam cerita yang singkat itu, manusia diberi kesempatan untuk menciptakan sesuatu yang abadi: makna.
Komentar
Posting Komentar