Langsung ke konten utama

Lingkaran Kaya dan Miskin



Di sebuah dunia yang katanya penuh peluang, hidup dua golongan manusia: si miskin dan si kaya. Si miskin adalah mereka yang tiap harinya bertarung dengan nasib, mencoba memuaskan sekadar panggilan perut. Sementara itu, si kaya hidup di menara gading, menghitung pundi-pundi kekayaannya yang sudah melimpah ruah, namun entah kenapa selalu terasa kurang.

Si miskin berlari, terengah-engah di jalan kehidupan yang sepertinya dirancang untuk menjatuhkan mereka. Apa lagi yang bisa mereka lakukan ketika harga kebutuhan terus melambung, sementara pendapatan tetap stagnan, bahkan hilang? Untuk bertahan hidup, beberapa dari mereka mencuri, merampok, atau bahkan menjual dirinya sendiri. “Apa pilihan yang kami punya?” tanya mereka pada dunia yang hanya memberikan kebisuan sebagai jawaban.

Namun, si kaya tidak peduli. Dari balik jendela kaca rumah megahnya, mereka memandang si miskin seperti melihat binatang di kebun binatang—sesuatu yang menarik untuk diperhatikan sesaat, lalu dilupakan begitu saja. Si kaya punya urusan lain, urusan yang lebih penting: memperluas tanah, meraup sumber daya alam, dan memonopoli setiap kesempatan yang ada. “Kalau aku tidak mengambilnya, orang lain yang akan melakukannya,” kata mereka, seperti sebuah mantra pembenaran yang terus diulang-ulang.

Tapi tunggu dulu, drama ini tidak berhenti di sini. Si kaya, dengan segala kecerdasannya, tahu bahwa si miskin bisa menjadi ladang keuntungan. Maka, mereka menciptakan cara-cara baru untuk memeras yang sudah tidak punya. Pinjaman online, misalnya. Apa yang terlihat seperti uluran tangan sebenarnya adalah jerat tali di leher si miskin. “Kami membantu mereka yang membutuhkan,” kata si kaya, sambil menambah bunga pinjaman hingga langit ketujuh. Dan ketika si miskin tidak sanggup membayar, rumah mereka disita, martabat mereka dihancurkan.

Tidak cukup sampai di situ, si kaya juga menciptakan perangkap lainnya: judi. Kasino virtual, lotre, atau permainan daring yang menjanjikan “kemenangan besar.” Si miskin, yang hidup dalam keputusasaan, berpikir ini adalah satu-satunya jalan untuk keluar dari kemiskinan. Mereka menggadaikan apa yang tersisa—gaji, perhiasan, bahkan masa depan anak-anak mereka—hanya untuk mengejar mimpi yang dijual oleh si kaya. Tetapi seperti biasa, mimpi itu hanya milik si kaya. Si miskin selalu kalah, dan ketika mereka kalah, mereka kembali mencuri, merampok, atau meminjam lagi untuk mencoba keberuntungan yang sama.

Ironis, bukan? Si kaya terus mengutuk si miskin. Mereka berkata, “Lihatlah mereka, kaum malas yang tidak tahu bagaimana mengelola uang. Mereka bodoh dan tidak punya etika.” Sementara itu, si miskin mengutuk si kaya, “Mereka rakus, tidak tahu kapan harus berhenti, dan hidup dengan memeras orang kecil seperti kami.” Dua golongan ini, yang terlihat seperti kutub berlawanan, sebenarnya adalah dua sisi dari koin yang sama.

Dan inilah lingkaran setan itu. Si miskin mencuri untuk bertahan hidup, lalu dipenjarakan oleh hukum yang diciptakan oleh si kaya. Si kaya memperluas kekayaannya dengan merampas sumber daya, lalu menggunakan hasilnya untuk menciptakan perangkap baru bagi si miskin. Tidak ada yang keluar dari siklus ini. Dunia berputar, tetapi nasib mereka tetap sama.

Apakah ada akhir dari semua ini? Si miskin mungkin bermimpi suatu hari bisa menjadi si kaya, dan si kaya bermimpi bisa terus menumpuk kekayaan tanpa akhir. Namun, keduanya lupa bahwa mimpi itu tidak pernah menjadi kenyataan. Si kaya dan si miskin sama-sama terperangkap, bukan oleh nasib, tetapi oleh keserakahan dan keputusasaan yang menjadi bahan bakar dunia mereka.

Dan ketika semua ini berakhir—jika memang ada akhirnya—apa yang akan tersisa? Tidak ada. Si miskin mati karena kelelahan, dan si kaya mati karena kesepian. Lingkaran setan ini akan terus berjalan, menciptakan generasi baru yang mengulang kisah lama. Seperti sebuah drama yang naskahnya sudah ditulis ribuan tahun lalu, dunia tetap penuh ironi, menyisakan kita hanya untuk tertawa pahit.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Struktural Keorganisasian Kampus

(Dokumen Pribadi) Jika kamu adalah anak kuliah tentu pasti sudah tahu apa itu organisasi kampus. Mungkin ada sedikit perbedaan antara organisasi kampus dengan organisasi lainnya. Jelasnya organisasi kampus tentunya diisi oleh mahasiswa dan tentunya pola pikir keorganisasian dan tujaunnya berbeda dengan organisasi diluar kampus. Organisasi kampus sendiri terdiri dari dua macam, ada organisasi intra kampus kampus dan organisasi ekstra kampus. Organisasi kampus ini seberulnya hampir mirip dengan sistem kenegaraan kita seperti eksekutif, legislatif dan partai politik. Organisasi kampus ini, bisa disebut juga sebagai miniatur negara, untuk lebih jelasnya saya akan jelaskan dibawah ini:  Organisasi Intra Kampus Definisi organisasi intra kampus sendiri ada di dalam aturan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 155/U/1998 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi (PUOK). Secara singkatnya organisasi intra kampus ini berada di bawah naungan kampus. Orga...

Antara Alam Pikiran dan Alam Realitas

Pernahkan kamu berfikir? Ya tentunya semua orang di dunia ini melakukan segala aktifitas dengan berfikir kecuali pada saat tidur dan pingsan. Hal yang unik dari manusia adalah manusia berbeda dengan fikirannya hewan. Hewan hanya berfikir berdasarkan insting naluri berfikirnya jika ada hewa-hewan cerdas seperti lumba-lumba dan  simpanse, mereka tentunya harus dilati terlebih dahulu. Tanpa dilatih mereka hanya hewan biasa walaupun di katakan hewan cerdas pun pemikiran mereka tetap saja tidak bisa berkembang. (Pixlab.com) Manusia tentunya memiliki kelebihan dibandingkan dengan hewan lain yakni pikiran, dengan pikiran manusia bisa melakukan hal yang sulit menjadi mudah, membuat hal yang kreatif dan inovatif, berimajinasi, berlogika, mempelajari hal baru dan masih banyak yang lainnya. Sejauh ini peradaban diciptakan oleh manusia dari masa-masa, manusia mempelajari hal baru dan ilmi-ilmu baru. Berbicara tentang pemikiram ini tentunya adalah hal yang unik, karena setiap orang memiliki tin...

Buat Apa Kita Belajar

Pertanyaan ini sebetulnya adalah pertanyaan yang kurang kerjaan, tetapi memang perlu kita pikirkan bersama. Memang sudah jelas tujuan belajar adalah menjadi orang yang pintar. Tetapi menurut saya itu bukan jawaban yang tepat. mengapa itu bukan jawaban yang tepat, karena kita harus lihat dulu tujuan dari belajar itu sendiri. Jujur saya orang yang senang belajar tetapi saya kurang suka pelajaran di sekolah, karena orientasinya hanya sekedar nilai. Mungkin ini tidak sesuai dengan stigma masyarakat. (Pixabay.com) Kita tentunya harus mengubah tujuan dari belajar. Jika kita belajar rajin mengerjakan PR, rangking satu, ujian selalu baik tentunya itu adalah anak yang pintar. Padahal itu bukan orang yang pintar, tetapi dia hanya ingin dipandang baik masyarakat (sekolah) makanya harus rajin agar dipuji oleh banyak orang. Jika kamu merasa puas ketika dipuji karena rangking satu tentunya sangat puas. Tetapi puasnya hanya cukup disitu saja. Setelah ia puas maka ya sudah pelajaran yang telah lalu di...