Kebodohan! Sebuah fenomena abadi yang bahkan teknologi secanggih apa pun tak mampu memusnahkan. Ia seperti air di lautan, melimpah, mengalir tanpa henti, dan tak pernah mengering. Kebodohan bukan hanya eksis di tengah keterbelakangan, tetapi juga berkembang biak di zaman modern, di era yang katanya penuh cahaya pengetahuan. Apa yang menjadi rahasia panjang umurnya? Tidak lain dan tidak bukan: manusia itu sendiri.
Mari kita mulai dengan mental individu. Ada manusia yang begitu polos—atau mungkin lebih tepat disebut bebal—sehingga percaya pada segala sesuatu yang tidak masuk akal. Ramalan zodiak, benda-benda bertuah, hingga minuman herbal yang katanya bisa bikin panjang umur. Lucu, ya? Di tengah berbagai penelitian ilmiah dan kemajuan medis, masih ada yang percaya kalau menanam paku di tanah bisa bikin dagangan laris. Tapi hei, jangan salah sangka! Kebodohan seperti ini punya daya tarik tersendiri. Ia memberikan rasa aman palsu dan harapan kosong yang, entah bagaimana, membuat orang merasa “lebih hidup.”
Lalu, ada pula konstruksi sosial. Sistem yang dengan begitu indahnya dirancang untuk memastikan kebodohan tetap lestari. Kalau semua orang pintar, siapa yang akan membeli air putih kemasan dengan label "detoksifikasi tubuh" seharga dua kali lipat harga biasa? Kalau semua orang kritis, siapa yang akan percaya bahwa skema investasi dengan keuntungan 100% dalam seminggu adalah hal yang masuk akal? Konstruksi sosial menciptakan panggung di mana kebodohan bisa beraksi, lengkap dengan sorak-sorai penonton yang juga sama-sama bodoh.
Dan yang lebih menarik, kebodohan ini tidak hanya dibiarkan hidup, tapi juga dipelihara. Mengapa? Karena kebodohan adalah senjata paling ampuh untuk melanggengkan kekuasaan. Lihat saja bagaimana pemimpin-pemimpin tertentu dengan lihainya memainkan kebodohan massa. Mereka memberikan janji-janji absurd yang, entah bagaimana, tetap dipercaya oleh rakyatnya. Pendidikan? Tidak perlu terlalu bagus. Kalau rakyatnya terlalu pintar, mereka akan mulai bertanya-tanya, "Ke mana larinya pajak kami?" atau "Mengapa harga sembako makin mahal?" Tidak, tidak. Kebodohan adalah alat kontrol sosial yang sangat efektif.
Oh, dan jangan lupakan dunia bisnis! Kebodohan adalah ladang emas di mana para pengusaha rakus menanam benih tipu daya. Ingin kulit putih dalam seminggu? Beli krim ajaib ini. Mau kurus tanpa olahraga? Minum pil ini tiga kali sehari. Dan konsumen? Ah, mereka dengan bahagianya mengeluarkan uang, karena mereka percaya. Menipu? Itu bukan dosa, itu seni. Dalam bisnis, kebodohan konsumen adalah peluang, dan siapa pun yang tidak memanfaatkannya pasti terlalu mulia untuk bertahan hidup di dunia yang keras ini.
Lucunya, kebodohan tidak mengenal kelas. Yang kaya dan berpendidikan pun tidak luput dari virus ini. Mereka yang mampu membeli teknologi tercanggih justru sering kali menjadi korban teori konspirasi paling konyol. "Vaksin adalah alat kontrol pemerintah," kata mereka, sambil mengetik di smartphone yang jelas-jelas bisa melacak lokasi mereka kapan saja. Ironi? Tentu saja. Tapi begitulah indahnya kebodohan; ia merangkul semua orang tanpa pandang bulu.
Dan mari kita akui, kebodohan ini tidak akan pernah berakhir. Bahkan jika kiamat datang, pasti ada orang yang masih sibuk membagikan teori aneh tentang bagaimana kiamat itu adalah konspirasi elite global. Kebodohan adalah salah satu dari sedikit hal yang benar-benar universal dan tak lekang oleh waktu.
Jadi, apa yang bisa kita lakukan? Tidak banyak. Mungkin kita hanya bisa menertawakannya, atau kalau sedang iseng, memanfaatkannya. Bukankah dunia ini lebih menarik dengan segala absurditasnya? Jadi, mari rayakan kebodohan. Toh, tanpanya, hidup ini akan terlalu serius dan membosankan.
Komentar
Posting Komentar