Di sebuah kota di "Dunia Kerja Modern," hidup sekelompok rakyat jelata yang bekerja tanpa lelah. Mereka menggali tambang emas impian di bawah panji-panji "produktifitas," dengan janji samar akan kebahagiaan di ujung peluh mereka. Tapi, siapa sangka, tambang itu tak pernah menghasilkan emas—hanya batu kerikil yang dilemparkan kembali kepada mereka sebagai pengingat bahwa "kerja keras adalah kebajikan." Apakah benar kebajikan, atau hanya ilusi?
Lihatlah para pekerja berbakat itu, mereka datang dengan koper penuh keahlian. Ada yang ahli berbicara, ada yang pintar berhitung, ada pula yang punya tangan ajaib yang bisa menciptakan solusi dari udara kosong. Tapi, alih-alih disambut dengan sorak-sorai, mereka disambut dengan sikap sinis. “Ah, hebat sekali kamu ini. Kalau begitu, kita potong saja gajinya, karena toh dia bisa menyelesaikan pekerjaan tiga orang.” Begitulah logika para punggawa kerajaan, yang menganggap bakat bukanlah berkah, melainkan alasan untuk memberikan upah murah.
Sang, bos tersenyum. "Aku tidak perlu menghargai mereka," pikirnya. "Kenapa? Karena mereka tidak punya pilihan lain. Mereka butuh makan, dan aku butuh mereka untuk terus bekerja seperti kuda yang tidak pernah mengeluh, karena jika mereka lelah, aku cukup berkata, 'Semangat ya, kalian itu hebat!'"
Dan begitulah lingkaran setan ini terus berputar. Sistem kerja kerajaan ini tidak didesain untuk menghargai manusia, tetapi untuk memeras mereka sampai kering. Menghargai? Oh, jangan salah paham. Di sini, penghargaan bukan berupa jabatan, bonus, atau setidaknya ucapan terima kasih. Tidak. Penghargaan versi mereka adalah eksistensi kamu yang masih diizinkan untuk bekerja. Tidak lebih, tidak kurang.
Di sisi lain, para rakyat yang naif berpikir bahwa mereka cukup beruntung berada di kerajaan ini. "Setidaknya aku punya pekerjaan," bisik mereka, meski setiap malam menangis di atas kasur tipis sambil menghitung sisa gaji yang tak cukup untuk makan. Tapi yang lebih memilukan adalah ketika mereka mulai menyalahkan diri sendiri. "Mungkin aku kurang berusaha," pikir mereka. Padahal, masalahnya bukan pada usaha mereka, tapi pada sistem yang memang didesain untuk tidak pernah cukup menghargai siapa pun.
Dan jangan lupakan rekan kerja, para prajurit setia yang seharusnya menjadi sekutu di medan perang. Tapi di kerajaan ini, solidaritas adalah hal yang langka. Mengapa? Karena sistem mengadu mereka satu sama lain. "Lihat si A, dia kerja lebih cepat dari kamu. Kenapa kamu tidak bisa seperti dia?" begitu ujar sang mandor. Dan karena takut tersingkir, mereka pun mulai saling sikut. Di sinilah letak ironi terbesar: alih-alih saling mendukung, mereka justru saling menjatuhkan demi sepotong roti tambahan.
Pada akhirnya, kerajaan ini berjalan seperti mesin, dingin dan tanpa jiwa. Mereka yang bertahan adalah mereka yang bisa mematikan hati mereka, menerima penghinaan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Dan bagi mereka yang tidak tahan? Mereka pergi, hanya untuk menemukan kerajaan lain dengan wajah yang berbeda, tapi jiwa yang sama.
Mungkin, kita semua hanya figuran dalam drama tragis ini. Kita bekerja, berusaha keras, berharap dihargai, tapi pada akhirnya kita hanya menjadi roda kecil dalam mesin besar yang tidak peduli apakah kita ada atau tidak. Dan di tengah absurditas ini, satu pertanyaan sederhana muncul: apakah pekerjaan tanpa penghargaan masih layak disebut pekerjaan, atau hanya perbudakan dalam kemasan modern?
Jadi, lain kali ketika ada yang berkata, "Kerja keras pasti dihargai," kamu bisa tertawa kecil dan menjawab, "Tentu, dihargai dengan upah murah dan beban kerja ganda." Karena di kerajaan ini, penghargaan bukanlah hak, melainkan kemewahan yang hanya dinikmati segelintir orang yang duduk di atas singgasana. Selamat bekerja, para pahlawan tanpa penghargaan. Dunia butuh kalian, tapi sayangnya, dunia tidak tahu bagaimana caranya berterima kasih.
Komentar
Posting Komentar