Langsung ke konten utama

Sudah Terlalu Lama Begini



Ah, begini rupanya menjadi manusia abad 21.  Mencari kerja itu seperti mencari jarum di tumpukan jerami yang terbakar—susah, panas, dan berpotensi membuatmu kehilangan bulu mata.  Sudah berapa lama aku menganggur?  Cukup lama untuk menumbuhkan janggut (kalau aku laki-laki, tentu saja!), cukup lama untuk menghafalkan semua episode drama Korea atau anime yang ada di Netflix, cukup lama untuk menyadari bahwa ternyata kucing tetangga lebih bahagia daripada aku.  Dan melajang?  Ah, itu pertanyaan yang lebih menyakitkan daripada gigitan nyamuk saat tidur siang.  Sudah berapa lama?  Cukup lama untuk menyadari bahwa aplikasi kencan online hanyalah lahan subur bagi para ghosting artist handal.

Mereka bilang pekerjaan dan pernikahan adalah tuntutan hidup.  Tuntutan hidup?  Lebih tepatnya, tuntutan kapitalisme yang dikemas dengan pita emas harapan palsu!  Mereka bilang, "Cari kerja yang bagus, nikah, punya anak, beli rumah, mobil, dan liburan ke Bali!"  Seolah-olah hidup ini cuma tentang checklist item yang harus segera dicentang sebelum kiamat tiba.  Lucu sekali, ya?  Seolah-olah semua itu bisa didapatkan dengan mudah, seperti memesan go-food lewat aplikasi.

Aku juga ingin, lho!  Ingin menikah, merasakan kehangatan keluarga, punya anak yang lucu-lucu (dan semoga tidak mewarisi sifat malas dan pemalas dari orangtuanya), dan punya pekerjaan yang membanggakan, bukan cuma pekerjaan yang cukup membayar tagihan listrik dan internet.  Tapi, realita berkata lain.  Dunia ini seperti pesta dansa yang penuh sesak, di mana semua orang berebut pasangan dan tempat di lantai dansa.  Sementara aku?  Aku hanya penonton yang terjebak di pinggir lapangan, sibuk mengunyah popcorn sambil mengutuk betapa mahalnya harga popcorn di bioskop.

Melihat orangtuaku yang semakin tua, semakin renta, semakin banyak kerutan di wajahnya, semakin banyak uban di rambutnya…  Rasanya hati ini seperti diiris-iris dengan pisau tumpul.  Aku ingin membahagiakan mereka, ingin memberikan yang terbaik untuk mereka, ingin menjadi anak yang berbakti.  Tapi, bagaimana caranya?  Dengan menatap layar handphone dan menggulirkan feeds Instagram yang penuh dengan foto-foto liburan orang lain?  Dengan terus-menerus melamar pekerjaan yang hasilnya selalu nihil?  Dengan terus-menerus di- ghosting oleh calon-calon pasangan yang ternyata lebih memilih kucing daripada aku?

Ini bukan masalah aku tidak berusaha, ya!  Aku sudah berusaha keras, sampai-sampai tulang punggungku terasa mau patah.  Tapi, sepertinya usahaku tidak cukup ampuh melawan sistem yang begitu kejam dan tidak adil.  Jadi, ya, aku hanya bisa berbaring di kamar, menatap layar handphone, sambil sesekali menghela napas panjang dan bertanya-tanya, "Apakah aku telah melakukan kesalahan dalam hidup ini?"  Ah, mungkin aku harus mulai berdoa agar ada malaikat yang turun dari langit dan memberikan pekerjaan dan jodoh untukku.  Siapa tahu, kan?  Lagipula, tidak ada salahnya bermimpi, toh?  Meskipun mimpinya agak absurd.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...