Kadang, tanpa alasan yang jelas, air mataku tiba-tiba jatuh. Rasanya seperti ada beban tak terlihat yang mendorong, memaksaku ingin menangis sekeras-kerasnya, meski suara itu tertahan dalam diam. Ada perasaan rindu yang menyelinap—kerinduan pada masa kecil ketika segalanya terasa begitu sederhana. Saat itu, kedua orang tuaku merawatku dengan penuh kasih sayang, penuh cinta yang tak ternilai. Mereka memberiku segalanya yang mereka mampu, bahkan terkadang lebih dari itu. Namun, sekarang, setelah dewasa, muncul perasaan kecewa dalam diriku, kecewa karena aku belum mampu membalas cinta dan pengorbanan mereka dengan membuat mereka bahagia.
Usiaku kini sudah melewati kepala dua, tapi aku merasa masih terombang-ambing tanpa arah. Aku sering bertanya pada diri sendiri, "Apa yang sebenarnya aku cari?" Setiap pagi terasa sama saja, seolah tak ada tujuan. Pikiranku kosong, tapi tubuhku terasa begitu berat untuk bangkit. Aku menghabiskan sebagian besar waktu dengan terbaring di kasur, menatap layar handphone yang kosong, seakan menunggu jawaban yang tak kunjung datang. Seharusnya, dengan gelar yang sudah ada di tangan, aku bisa memulai hidup yang mandiri, punya pekerjaan, dan bisa membantu meringankan beban kedua orang tuaku. Namun, kenyataannya, aku masih di sini—terjebak dalam perasaan hampa dan ketidakpastian.
Setiap kali aku melihat kondisi di luar sana, melihat orang-orang yang begitu gigih mencari pekerjaan dalam situasi yang penuh tantangan seperti sekarang, aku merasa semakin kecil. Alih-alih termotivasi, aku justru semakin tenggelam dalam rasa malas dan putus asa. Kadang-kadang aku hanya bisa menatap langit yang luas dari jendela kamar, sambil bertanya pada Tuhan, "Apakah Engkau melihatku di sini? Apakah Engkau mendengar doaku? Aku hanya ingin bisa membahagiakan kedua orang tuaku." Rasanya seperti permohonan yang sederhana, namun terasa begitu sulit untuk diwujudkan.
Sebagai seorang pria, ada perasaan malu yang menghantuiku ketika aku menangis. Ada beban yang mengatakan bahwa aku harus kuat, harus bisa menahan emosi. Tapi ada juga bagian dari diriku yang merasa tak sanggup menahan air mata. Ada dilema di sana—jika aku menangis, aku merasa lemah; namun jika aku menahannya, aku merasa semakin tertekan. Jadi, aku memilih menangis dalam diam, tanpa suara. Biarlah air mata itu keluar tanpa ada yang tahu, sebagai cara untuk melepaskan sedikit dari beban yang menumpuk di dalam hati dan pikiranku.
Yang paling menyedihkan adalah ketika aku melihat kedua orang tuaku yang semakin menua. Dulu mereka adalah sosok yang tangguh, bekerja keras demi membesarkan dan mendidikku. Tapi kini, kekuatan mereka semakin menurun, sementara aku belum juga mampu berdiri dengan kaki sendiri. Aku tahu, seharusnya aku yang kini menopang mereka, memberikan mereka kenyamanan di usia senja, tapi nyatanya aku malah masih bergantung pada mereka secara finansial. Rasa bersalah itu kadang-kadang begitu menyiksa.
Dalam kesendirian, satu-satunya pelarian yang kutemukan adalah menulis. Lewat tulisan, aku bisa menuangkan isi hatiku tanpa takut dihakimi. Aku bisa mencurahkan rasa sakit, kekecewaan, dan kebingunganku, meski tak ada yang membaca atau peduli. Menulis menjadi semacam terapi bagiku—sebuah cara untuk berbicara pada diri sendiri, untuk mengakui kelemahanku tanpa harus merasa malu.
Aku tak tahu apakah ini akan membantuku menemukan jalan keluar. Aku tak tahu apakah suatu saat aku bisa mengubah nasibku dan menjadi sosok yang membuat kedua orang tuaku bangga. Namun, setidaknya, lewat kata-kata yang kutuliskan ini, aku merasa sedikit lebih lega. Ini adalah caraku menghadapi kenyataan yang tak selalu indah, caraku berusaha untuk bertahan di tengah kehidupan yang sering kali terasa begitu berat. Dan mungkin, dalam setiap kata yang kutulis, ada sedikit harapan yang kutitipkan, bahwa suatu hari aku bisa keluar dari kegelapan ini, dan menemukan jalan untuk benar-benar bahagia.
Komentar
Posting Komentar