Langsung ke konten utama

Maaf Aku Belum Bisa Membahagiakanmu




Kadang, tanpa alasan yang jelas, air mataku tiba-tiba jatuh. Rasanya seperti ada beban tak terlihat yang mendorong, memaksaku ingin menangis sekeras-kerasnya, meski suara itu tertahan dalam diam. Ada perasaan rindu yang menyelinap—kerinduan pada masa kecil ketika segalanya terasa begitu sederhana. Saat itu, kedua orang tuaku merawatku dengan penuh kasih sayang, penuh cinta yang tak ternilai. Mereka memberiku segalanya yang mereka mampu, bahkan terkadang lebih dari itu. Namun, sekarang, setelah dewasa, muncul perasaan kecewa dalam diriku, kecewa karena aku belum mampu membalas cinta dan pengorbanan mereka dengan membuat mereka bahagia.

Usiaku kini sudah melewati kepala dua, tapi aku merasa masih terombang-ambing tanpa arah. Aku sering bertanya pada diri sendiri, "Apa yang sebenarnya aku cari?" Setiap pagi terasa sama saja, seolah tak ada tujuan. Pikiranku kosong, tapi tubuhku terasa begitu berat untuk bangkit. Aku menghabiskan sebagian besar waktu dengan terbaring di kasur, menatap layar handphone yang kosong, seakan menunggu jawaban yang tak kunjung datang. Seharusnya, dengan gelar yang sudah ada di tangan, aku bisa memulai hidup yang mandiri, punya pekerjaan, dan bisa membantu meringankan beban kedua orang tuaku. Namun, kenyataannya, aku masih di sini—terjebak dalam perasaan hampa dan ketidakpastian.

Setiap kali aku melihat kondisi di luar sana, melihat orang-orang yang begitu gigih mencari pekerjaan dalam situasi yang penuh tantangan seperti sekarang, aku merasa semakin kecil. Alih-alih termotivasi, aku justru semakin tenggelam dalam rasa malas dan putus asa. Kadang-kadang aku hanya bisa menatap langit yang luas dari jendela kamar, sambil bertanya pada Tuhan, "Apakah Engkau melihatku di sini? Apakah Engkau mendengar doaku? Aku hanya ingin bisa membahagiakan kedua orang tuaku." Rasanya seperti permohonan yang sederhana, namun terasa begitu sulit untuk diwujudkan.

Sebagai seorang pria, ada perasaan malu yang menghantuiku ketika aku menangis. Ada beban yang mengatakan bahwa aku harus kuat, harus bisa menahan emosi. Tapi ada juga bagian dari diriku yang merasa tak sanggup menahan air mata. Ada dilema di sana—jika aku menangis, aku merasa lemah; namun jika aku menahannya, aku merasa semakin tertekan. Jadi, aku memilih menangis dalam diam, tanpa suara. Biarlah air mata itu keluar tanpa ada yang tahu, sebagai cara untuk melepaskan sedikit dari beban yang menumpuk di dalam hati dan pikiranku.

Yang paling menyedihkan adalah ketika aku melihat kedua orang tuaku yang semakin menua. Dulu mereka adalah sosok yang tangguh, bekerja keras demi membesarkan dan mendidikku. Tapi kini, kekuatan mereka semakin menurun, sementara aku belum juga mampu berdiri dengan kaki sendiri. Aku tahu, seharusnya aku yang kini menopang mereka, memberikan mereka kenyamanan di usia senja, tapi nyatanya aku malah masih bergantung pada mereka secara finansial. Rasa bersalah itu kadang-kadang begitu menyiksa.

Dalam kesendirian, satu-satunya pelarian yang kutemukan adalah menulis. Lewat tulisan, aku bisa menuangkan isi hatiku tanpa takut dihakimi. Aku bisa mencurahkan rasa sakit, kekecewaan, dan kebingunganku, meski tak ada yang membaca atau peduli. Menulis menjadi semacam terapi bagiku—sebuah cara untuk berbicara pada diri sendiri, untuk mengakui kelemahanku tanpa harus merasa malu.

Aku tak tahu apakah ini akan membantuku menemukan jalan keluar. Aku tak tahu apakah suatu saat aku bisa mengubah nasibku dan menjadi sosok yang membuat kedua orang tuaku bangga. Namun, setidaknya, lewat kata-kata yang kutuliskan ini, aku merasa sedikit lebih lega. Ini adalah caraku menghadapi kenyataan yang tak selalu indah, caraku berusaha untuk bertahan di tengah kehidupan yang sering kali terasa begitu berat. Dan mungkin, dalam setiap kata yang kutulis, ada sedikit harapan yang kutitipkan, bahwa suatu hari aku bisa keluar dari kegelapan ini, dan menemukan jalan untuk benar-benar bahagia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...