Langsung ke konten utama

Kebahagiaan yang Memebawa Penyakit



Ah, ya, menonton Netflix sambil menyantap cemilan saat sedih dan galau.  Kebiasaan superior abad ke-21, bukan?  Sebuah ritual suci yang menjanjikan pelarian sementara dari realita pahit kehidupan.  Selimut tebal, ruangan gelap, dan binge-watching drama Korea yang bikin nangis—paket lengkap untuk menghancurkan kesehatan mental dan fisik secara efisien.  Jenius, sekali!

Kita, manusia modern yang sophisticated,  mengatasi kesedihan dengan cara yang sophisticated pula.  Bukan dengan menangis tersedu-sedu di pundak sahabat, bukan dengan curhat pada orangtua, bukan dengan berolahraga atau melakukan hobi yang menyehatkan.  Tidak, tidak, tidak!  Itu semua terlalu mainstream.  Kita lebih memilih cara yang lebih… efektif dalam menghancurkan diri sendiri:  mengobrak-abrik isi kulkas, mencari cemilan paling tidak sehat, dan kemudian menghabiskan waktu berjam-jam terpaku pada layar, membiarkan hormon kortisol berpesta pora di dalam tubuh.

Betapa jeniusnya kita, ya?  Pikiran sudah stress, ditambah lagi dengan asupan gula dan lemak berlebih.  Sebuah kombinasi yang sempurna untuk menciptakan sebuah mahakarya:  badan yang melar, kulit yang kusam, dan perasaan bersalah yang menggerogoti hati.  Ah, sungguh sebuah prestasi yang patut dirayakan!  Kita pantas mendapatkan medali emas atas pencapaian luar biasa ini.  Medali emas yang terbuat dari…  coklat?  Eits, jangan-jangan itu akan menambah berat badan.  Lupakan medali emasnya.

Dan yang paling epic adalah, kita berpura-pura bahwa ini adalah kebiasaan baik.  "Ah, ini hanya untuk menghibur diri," kata kita, sambil menyuap keripik kentang yang berlimpah garam dan pengawet.  "Aku butuh me time," kata kita, sambil mengabaikan panggilan telepon dari orangtua yang mungkin sedang khawatir.  "Ini cara aku self-care," kata kita, sambil membiarkan diri tenggelam dalam dunia fantasi yang jauh dari realita yang menyakitkan. 

Bodoh?  Tentu saja bodoh!  Tapi, bodohnya itu…  stylish.  Bodohnya itu…  Instagrammable.  Bodohnya itu…  relatable.  Kita semua melakukannya, kan?  Kita semua adalah bagian dari klub eksklusif para pemalas yang cerdas, yang menemukan cara yang paling kreatif untuk menghancurkan diri sendiri.  Dan yang paling penting:  kita melakukannya dengan gaya.  Gaya yang penuh dengan cemilan, selimut, dan tontonan yang bikin mata sayu.

Jadi, ya, mari kita rayakan kebodohan kita ini.  Mari kita terus bermalas-malasan, terus makan cemilan, terus menonton Netflix.  Sampai suatu hari nanti, kita tersadar bahwa tubuh kita sudah menyerah dan menolak untuk bekerja sama.  Sampai suatu hari nanti, kita menyadari bahwa kita telah membuang waktu berharga untuk hal-hal yang tidak penting.  Sampai suatu hari nanti…  ah, sudahlah.  Mending lanjut nonton Netflix dulu.  Ada promo paket hemat cemilan di aplikasi go-food, lho!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...