Sering kali, aku mendapati diriku tenggelam dalam lamunan yang panjang dan tak berujung, memikirkan hal-hal yang, entah mengapa, seakan terjebak di batas antara realita dan keinginan. Lamunan ini tak selalu jelas arahnya. Kadang aku hanya bertanya-tanya tentang apa yang telah kulakukan hari ini dan merancang apa yang perlu kulakukan esok hari. Terkadang, aku membayangkan skenario-skenario hidup yang mungkin belum tentu pernah akan terjadi. Bisakah aku menemukan pasangan hidup? Bisakah aku menikah, punya anak, dan memiliki pekerjaan yang layak? Semua itu adalah pertanyaan yang terasa dekat, namun di saat yang sama, terasa juga begitu jauh.
Usiaku 25 tahun, dan aku sering merasa, dibandingkan orang lain, hidupku seakan belum menunjukkan kemajuan yang berarti. Ketika aku melihat teman-temanku yang sudah menikah, punya pekerjaan tetap, dan sepertinya sudah merasa aman dengan hidup mereka, aku tak bisa menahan perasaan iri yang perlahan menggerogoti ketenanganku. Kenapa mereka bisa, dan aku belum? Apa ada yang salah denganku, ataukah ini hanyalah jalanku yang berbeda?
Masa depan yang tak pasti sering kali membuatku merasa takut. Di satu sisi, aku sadar bahwa dunia ini memang bergerak begitu cepat. Segala sesuatu serba bayar—makan harus bayar, tidur pun ada harga yang mesti ditanggung. Bahkan untuk sekadar buang air pun, sering kali tak gratis. Kadang hidup terasa seperti daftar panjang kewajiban yang tak pernah selesai. Dan di tengah-tengah tuntutan ini, aku semakin menyadari bahwa melamun menjadi salah satu pelarian yang benar-benar gratis. Melamun adalah satu-satunya hiburan yang tak menuntut bayaran, tempat aku bisa bebas membayangkan semua hal tanpa perlu khawatir tentang apa yang terjadi jika semua itu tak terwujud.
Namun, dalam lamunan itu pula aku sering merenung: sampai kapan aku akan terus seperti ini? Sampai kapan aku hanya berputar-putar dalam pikiran tanpa mengambil langkah nyata? Apakah dengan terus melamun aku benar-benar akan menemukan jawaban, ataukah justru aku akan semakin tersesat dalam harapan-harapan yang tak pernah kuupayakan untuk menjadi nyata? Mungkin, melamun bukan sekadar pelarian, tetapi juga sebuah tanda bahwa aku perlu menghadapi kenyataan. Melamun bisa menjadi jendela untuk merenung, tetapi di sisi lain, ia juga bisa menjadi batas yang mengekang langkahku untuk benar-benar bergerak maju.
Mungkin di usia ini, aku memang berada di persimpangan antara harapan dan kenyataan. Masa dewasa yang baru kumasuki masih sering membuatku bimbang. Aku mungkin belum memiliki pasangan hidup, belum menikah, belum memiliki pekerjaan yang terasa mapan. Tetapi mungkin juga, inilah waktuku untuk membangun dan mencari jawaban atas segala yang kuimpikan. Di tengah ketidakpastian ini, mungkin langkah kecil yang kuambil hari demi hari, akan membawa perubahan perlahan. Dan pada akhirnya, bukan hanya lamunan yang memberiku pelarian, tetapi juga keberanian untuk menerima segala yang hadir dalam hidupku—baik itu kegagalan, kekecewaan, atau keberhasilan yang kucapai nanti.
Komentar
Posting Komentar