Langsung ke konten utama

Stupid Freedom




Oh, freedom, that mythical beast!  The very idea of it, apparently, is enough to send shivers of existential dread down your spine.  You’ve tasted the bitter fruit of unfettered choice, haven’t you?  Found it to be less a juicy peach of self-discovery and more a bland, tasteless turnip of ennui?  I can practically hear the dramatic sigh echoing through the digital ether.

You see, the problem with you, my friend, is that you’re confusing freedom with license.  Freedom isn't the absence of rules; it's the responsible exercise of choice within a framework of consequences.  It's not about doing whatever the hell you want, whenever the hell you want, because that, my dear, is a recipe for spectacular self-destruction.  It's the path of the sloth, the champion of procrastination, the king of "Netflix and regret."

Those who think freedom is good?  Clearly, they haven't experienced the soul-crushing weight of infinite possibilities, the paralyzing fear of making the wrong choice.  They haven't felt the existential emptiness of staring at a menu with a thousand options, only to order the same boring thing they always do because decision-making is exhausting.  Bless their naive hearts.

You’re right, the world is a series of choices and consequences.  But to claim that choosing freely somehow creates unfreedom is a bit… melodramatic, wouldn't you say?  It’s like blaming the knife for cutting your finger when you were the one who decided to juggle them while blindfolded.

Your junk food versus healthy food example is a masterpiece of self-righteousness.  Of course, the "free" person chooses the junk food!  Because instant gratification is the siren song of the unburdened soul!  The responsible person, the one shackled by the chains of long-term health, chooses the salad.  The truly free person, however, recognizes that both choices have consequences and makes a decision based on a balanced understanding of their needs and desires.  They might even choose the junk food sometimes, because balance, my friend, is the spice of life – and the secret sauce to genuine freedom. 

So, let's ditch this romanticized notion of freedom as a limitless expanse of nothingness.  It's not about the absence of constraints, but the wise navigation of them.  It's about understanding that the things that constrain us – responsibility, self-discipline, even the occasional well-placed rule – are often the very things that liberate us.  They’re the safety net that allows us to take risks, to explore, to stumble and get back up without completely obliterating ourselves in the process.  So, embrace the constraints, my friend. They might just be the key to unlocking your true potential.  And maybe, just maybe, you'll find that turnip isn't so bad after all.  (Or at least, less boring than the endless expanse of nothing.)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...