Langsung ke konten utama

Makan Enggak Makan Akhirnya Mati Juga



Makan mati, enggak makan juga mati. Frasa itu, yang dulu mungkin hanya terdengar sebagai ungkapan sarkas, kini terasa begitu nyata. Kita hidup di era yang serba dilema, di mana pilihan-pilihan seolah bertebaran di depan mata, namun pada akhirnya, semuanya mengarah pada satu titik yang sama: jurang kehancuran.

Lihatlah, di meja makan kita, berjejer aneka makanan menggoda. Bakso, sate, martabak, semuanya berlomba-lomba memanjakan lidah. Tapi, di balik kelezatan itu, tersembunyi racun yang perlahan meracuni tubuh. Gula, garam, dan lemak, bercampur aduk dalam setiap gigitan, menari-nari di lidah, namun menghancurkan kesehatan dari dalam.

Kita terjebak dalam ilusi pilihan. Seolah-olah kita bebas memilih, padahal pada akhirnya, semua pilihan mengantarkan kita pada jalan yang sama: jalan menuju penyakit.  Makanan murah, yang seharusnya menjadi penyelamat bagi kaum papa, malah menjadi bumerang yang menghancurkan kesehatan.  Makanan yang rendah gizi, penuh dengan bahan pengawet dan penyedap, menjadi santapan sehari-hari.

Dan jangan lupakan olahraga, yang semakin hari semakin terlupakan.  Tubuh kita, yang seharusnya menjadi mesin yang kuat dan tangguh, kini menjadi mesin yang ringkih dan mudah mogok.  Otot-otot mengendur, tulang-tulang keropos, dan penyakit datang silih berganti.

Kita terjebak dalam lingkaran setan. Kita tahu apa yang baik, tapi kita memilih yang enak. Kita tahu apa yang sehat, tapi kita memilih yang mudah.  Kita tahu apa yang benar, tapi kita memilih yang nyaman.

Dan pada akhirnya, kita akan merasakan pahitnya buah dari pilihan kita.  Penyakit datang menghampiri, tubuh melemah, dan hidup menjadi derita.  Saat itu, kita baru sadar, bahwa pilihan yang kita buat selama ini, bukanlah pilihan yang bijak.

Mungkin, sudah saatnya kita membuka mata.  Sudah saatnya kita memilih jalan yang benar, meskipun jalan itu terasa pahit dan sulit.  Sudah saatnya kita memprioritaskan kesehatan, meskipun itu berarti harus mengorbankan kenikmatan sesaat.

Karena, pada akhirnya, kesehatan adalah harta yang paling berharga.  Kesehatan adalah modal utama untuk menjalani hidup dengan bahagia dan bermakna.  Jangan sampai, kita baru menyadari pentingnya kesehatan ketika semuanya sudah terlambat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...