Langsung ke konten utama

Logical Friction



Logic, often perceived as a fixed and unchanging system, is in fact a dynamic concept that evolves alongside the ever-shifting landscapes of time and space.  The very foundations of logic are not static, but rather subject to constant re-evaluation and revision, as new discoveries and perspectives challenge established paradigms.  This dynamic nature of logic is evident in the evolution of logical systems themselves, where older frameworks are either replaced by entirely new ones or modified to accommodate fresh insights.  The logic we currently employ may be on the cusp of transformation, potentially yielding to a more refined and comprehensive system that better reflects our evolving understanding of the world. 

It's crucial to recognize that logic is not inherently synonymous with truth.  This distinction is a point worthy of profound contemplation.  Truth, in its purest form, may lie beyond the reach of logic, existing in a realm of subjective experience and intuitive understanding.  While logic provides a framework for reasoning and analysis, it cannot definitively capture the complexities of truth, which often transcends the confines of rational thought.

Even within a seemingly homogeneous group or among individuals who share common experiences, there will always exist a spectrum of logical thinking.  This inherent variance is a testament to the multifaceted nature of logic, which is shaped and influenced by a myriad of factors, including culture, societal norms, psychological predispositions, political ideologies, economic realities, and the inherent forces of nature.  Each individual's unique life experiences, shape by their personal history, cultural background, and individual perspectives, contribute to the formation of their distinct logical framework.

These diverse logical perspectives, shaped by a tapestry of influences, intermingle and influence one another, creating a complex and dynamic interplay of ideas.  This interplay can lead to both harmony and conflict, as individuals strive to reconcile their own logical frameworks with those of others.  Furthermore, systems of domination, often rooted in religious doctrines, political structures, economic disparities, or social hierarchies, exert a powerful influence on the formation and evolution of logic.  These systems of power can shape the very definition of logic, promoting certain perspectives while suppressing others, thereby creating a distorted and uneven playing field.

The clash of these diverse and often conflicting logical frameworks inevitably leads to friction, where opposing logics rub against each other, challenging and questioning established paradigms.  This friction, while initially uncomfortable, serves as a catalyst for the emergence of new logic.  Through this process of intellectual struggle and debate, new perspectives are born, existing paradigms are refined, and the boundaries of logic are expanded.  This continuous cycle of friction and change is the lifeblood of logic, ensuring its ongoing evolution and adaptation to the ever-changing world around us.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...