Reuni bersama teman lama—momen yang selalu kita bayangkan akan dipenuhi tawa dan nostalgia. Kita berharap bisa mengenang kembali masa-masa muda, mengingat lelucon yang dulu terasa sangat lucu, atau membicarakan perjuangan bersama yang, meski dulu sulit, kini bisa ditertawakan. Namun, kenyataannya seringkali jauh berbeda. Duduk di meja dengan kopi espresso dan cappuccino di tangan, alih-alih cerita masa lalu, yang terhidang di atas meja justru cerita kesuksesan yang megah.
Obrolan ringan beralih menjadi ajang pamer. Satu per satu mulai membicarakan jabatan yang kini mereka pegang, gaji fantastis yang mungkin bahkan lebih tinggi dari harapan kita sendiri, hingga mobil dan rumah yang baru dibeli. “Aku sekarang di posisi direktur, bro. Kalau kamu gimana?” Pertanyaan-pertanyaan seperti ini bertebaran, seakan-akan pertemuan ini adalah kompetisi tak kasat mata, lomba siapa yang punya kehidupan paling sempurna. Rasanya seperti berjalan di atas panggung peragaan kehidupan, di mana masing-masing dari kita berperan sebagai bintang utama dalam drama kesuksesan.
Ironisnya, di tengah pembicaraan yang penuh prestasi dan kemewahan itu, tidak ada satupun yang menanyakan kabar asli dari masing-masing kita. Tidak ada yang bertanya, “Bagaimana kehidupanmu? Apa kamu bahagia?” atau sekadar berbicara tentang kesulitan yang mungkin dihadapi. Satu per satu wajah kita tersenyum, seakan membiarkan topeng kebanggaan menutupi lelah dan mungkin luka yang tidak ingin dibagikan. Tali silaturahmi yang seharusnya mengikat menjadi renggang, digantikan oleh keinginan untuk membuktikan bahwa kita juga “berhasil.”
Inilah ironi dari sebuah reuni yang seharusnya menjadi ajang mempererat persahabatan, namun malah menjadi lapangan tanding kesuksesan. Mungkin kita lupa bahwa masa lalu yang sederhana adalah fondasi dari hubungan ini—bahwa kita pernah tertawa bersama karena hal-hal kecil, bercanda soal cinta pertama, atau saling mendukung saat masa-masa sulit. Tapi kini, yang tersisa hanyalah diri-diri yang berlomba menunjukkan “siapa yang lebih.”
Pada akhirnya, kita pulang dengan hati yang entah merasa puas atau justru kosong. Pertemuan yang seharusnya meninggalkan kesan hangat dan kenangan manis malah terasa seperti kontes tanpa pemenang. Kita sadar bahwa sesungguhnya kesuksesan yang nyata bukanlah yang kita pamerkan dalam cerita, melainkan keikhlasan untuk merangkul masa lalu dan berbagi suka duka, tanpa perlu ada embel-embel siapa yang lebih sukses atau kaya.
Ironis, bukan? Reuni yang seharusnya mendekatkan, justru membuat kita merasa semakin jauh satu sama lain. Kita terlalu sibuk merajut cerita pencapaian, hingga lupa bahwa keberhasilan terbesar mungkin adalah kemampuan untuk benar-benar hadir bagi teman lama tanpa harus merasa harus menjadi yang paling “berhasil.”
Komentar
Posting Komentar