Ya, kebosanan. Rasa ingin menghentikan waktu, memutarnya kembali ke masa lalu yang penuh kenangan—siapa sih yang tidak pernah merasakannya? Betapa indahnya jika kita bisa menekan tombol pause kehidupan, bukan? Seolah-olah hidup ini cuma game yang bisa kita restart sesuka hati. Sayangnya, realita berkata lain. Kita terjebak dalam arus waktu yang terus mengalir, tanpa jeda, tanpa save point.
Usia bertambah, pengetahuan menumpuk bak gunung es, wawasan melebar bagai samudra. Luar biasa, bukan? Seolah-olah kita sedang mengumpulkan poin untuk memenangkan hadiah utama kehidupan. Hadiah apa? Tentu saja, keakraban dan kekayaan yang melimpah ruah. Eh, tunggu dulu… kok malah sebaliknya? Semakin banyak pengetahuan, semakin banyak pula yang Aku sadari betapa sedikitnya yang Aku miliki. Ironis, bukan? Aku seperti kutu buku yang kaya akan ilmu, tapi miskin akan teman sejati dan dompet yang tebal.
Masa depan? Ah, masa depan itu misteri yang terselubung kabut tebal. Penuh ketidakpastian, seperti prediksi cuaca yang selalu meleset. Aku meraba-raba jalan di tengah kegelapan, berharap tidak tersesat di belantara kehidupan. Dan apa yang paling menakutkan? Kehilangan. Kehilangan orang-orang terkasih, baik karena kematian yang tak terelakkan, atau karena jarak dan kesibukan yang memisahkan. Aku dihimpit oleh paradoks: semakin banyak orang yang Aku kenal, semakin besar pula kemungkinan Aku kehilangan mereka.
Lalu, kesendirian. Ya, kesendirian yang menanti di ujung lorong masa depan. Sebuah teman setia yang tak pernah meninggalkan Aku, bahkan saat Aku dikelilingi oleh kerumunan. Sebuah ironi yang menyayat hati: kita hidup di zaman yang terhubung secara digital, namun justru merasa semakin terisolasi. Aku dikepung oleh lautan informasi, namun haus akan koneksi yang bermakna.
Jadi, apa solusinya? Mungkin Aku harus berhenti berharap pada tombol pause atau rewind kehidupan. Mungkin Aku harus menerima kenyataan bahwa waktu terus berjalan, dan Aku harus berdamai dengan ketidakpastian masa depan. Mungkin Aku harus fokus pada apa yang bisa Aku kendalikan: hubungan ku dengan orang-orang terkasih, dan bagaimana Aku mengisi hari-hari Aku dengan hal-hal yang bermakna. Mungkin, ironi terbesar bukanlah ketidakpastian masa depan, melainkan keengganan ku untuk menerimanya. Mungkin, kebahagiaan sejati terletak bukan pada kekayaan materi, melainkan pada kekayaan hati. Mungkin… mungkin saja. Atau mungkin tidak. lihat saja nanti.
Komentar
Posting Komentar