Langsung ke konten utama

Kejenuhan Menghadapi Masa Depan




Ya, kebosanan. Rasa ingin menghentikan waktu, memutarnya kembali ke masa lalu yang penuh kenangan—siapa sih yang tidak pernah merasakannya?  Betapa indahnya jika kita bisa menekan tombol pause kehidupan, bukan?  Seolah-olah hidup ini cuma game yang bisa kita restart sesuka hati.  Sayangnya, realita berkata lain.  Kita terjebak dalam arus waktu yang terus mengalir, tanpa jeda, tanpa save point.

Usia bertambah, pengetahuan menumpuk bak gunung es, wawasan melebar bagai samudra.  Luar biasa, bukan?  Seolah-olah kita sedang mengumpulkan poin untuk memenangkan hadiah utama kehidupan.  Hadiah apa?  Tentu saja, keakraban dan kekayaan yang melimpah ruah.  Eh, tunggu dulu… kok malah sebaliknya?  Semakin banyak pengetahuan, semakin banyak pula yang Aku sadari betapa sedikitnya yang Aku miliki.  Ironis, bukan?  Aku seperti kutu buku yang kaya akan ilmu, tapi miskin akan teman sejati dan dompet yang tebal.

Masa depan?  Ah, masa depan itu misteri yang terselubung kabut tebal.  Penuh ketidakpastian, seperti prediksi cuaca yang selalu meleset.  Aku meraba-raba jalan di tengah kegelapan, berharap tidak tersesat di belantara kehidupan.  Dan apa yang paling menakutkan?  Kehilangan.  Kehilangan orang-orang terkasih, baik karena kematian yang tak terelakkan, atau karena jarak dan kesibukan yang memisahkan.  Aku dihimpit oleh paradoks: semakin banyak orang yang Aku kenal, semakin besar pula kemungkinan Aku kehilangan mereka.

Lalu, kesendirian.  Ya, kesendirian yang menanti di ujung lorong masa depan.  Sebuah teman setia yang tak pernah meninggalkan Aku, bahkan saat Aku dikelilingi oleh kerumunan.  Sebuah ironi yang menyayat hati: kita hidup di zaman yang terhubung secara digital, namun justru merasa semakin terisolasi.  Aku dikepung oleh lautan informasi, namun haus akan koneksi yang bermakna.

Jadi, apa solusinya?  Mungkin Aku harus berhenti berharap pada tombol pause atau rewind kehidupan.  Mungkin Aku harus menerima kenyataan bahwa waktu terus berjalan, dan Aku harus berdamai dengan ketidakpastian masa depan.  Mungkin Aku harus fokus pada apa yang bisa Aku kendalikan: hubungan ku dengan orang-orang terkasih, dan bagaimana Aku mengisi hari-hari Aku dengan hal-hal yang bermakna.  Mungkin, ironi terbesar bukanlah ketidakpastian masa depan, melainkan keengganan ku untuk menerimanya.  Mungkin, kebahagiaan sejati terletak bukan pada kekayaan materi, melainkan pada kekayaan hati.  Mungkin… mungkin saja.  Atau mungkin tidak.  lihat saja nanti.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...