Langsung ke konten utama

Manusia sebagai Komoditas: Mengeksploitasi Diri di Era Digital

Di era digital saat ini, perkembangan teknologi telah mengubah banyak aspek kehidupan, termasuk cara manusia berinteraksi, berkomunikasi, dan mencari nafkah. Salah satu fenomena yang semakin populer adalah manusia sebagai komoditas, di mana individu menggunakan diri mereka sendiri sebagai objek eksploitasi untuk mendapatkan keuntungan finansial dan popularitas. Sebagai contoh, di platform seperti YouTube, seorang YouTuber dapat mengunggah konten yang menampilkan dirinya sendiri dan mendapatkan penghasilan berdasarkan jumlah penonton yang melihatnya. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan tentang etika, dampak sosial, dan dampak psikologis dari memperlakukan diri sendiri sebagai komoditas.

Manusia sebagai komoditas dalam konteks digital mengacu pada praktik menggunakan diri sendiri sebagai objek untuk tujuan komersial atau pemasaran. Para pelaku ini bisa saja berada di industri hiburan, seperti YouTuber, selebriti media sosial, atau model pemasaran. Mereka menciptakan konten yang menarik perhatian banyak orang, dan keberhasilan mereka diukur berdasarkan kuantitas penonton, likes, atau tayangan iklan yang berhasil disisipkan. Dalam hal ini, mereka berfungsi sebagai "barang" yang memiliki nilai ekonomi dan nilai sosial yang terkait dengan popularitas mereka.

Sebagai contoh, mari kita lihat seorang YouTuber yang menciptakan konten video tentang kehidupan sehari-hari, gaming, atau fashion. Seorang YouTuber tersebut akan menampilkan dirinya sendiri sebagai bagian integral dari konten tersebut. Mereka menciptakan citra diri dan identitas merek yang menarik bagi audiensnya, dan dengan berulang-ulang mendapatkan eksposur di platform digital, mereka mengembangkan basis penggemar dan mendapatkan pendapatan melalui iklan, sponsor, atau fitur monetisasi lainnya yang disediakan oleh platform tersebut.

Sementara fenomena ini dapat memberikan peluang ekonomi yang menguntungkan bagi individu-individu tersebut, ada beberapa pertimbangan etika dan dampak sosial yang perlu dipertimbangkan:

1. Eksploitasi dan Privasi

Dalam menciptakan konten pribadi, ada risiko eksploitasi di mana privasi individu dapat terancam. Pemaparan berlebihan atau kurangnya batasan dapat menyebabkan dampak psikologis negatif dan kehilangan privasi pribadi.

2. Penilaian Diri dan Ketergantungan pada Validasi Eksternal

Jika seseorang mengukur nilai diri mereka berdasarkan popularitas dan tanggapan dari orang lain, ini dapat menyebabkan ketergantungan pada validasi eksternal dan ketidakstabilan emosional.

3. Kesehatan Mental dan Stigma

Tekanan untuk tetap relevan dan terus berkontribusi dalam dunia digital dapat menyebabkan stres dan gangguan kesehatan mental. Selain itu, ada stigma sosial yang terkadang melekat pada pekerjaan di media sosial yang dianggap kurang serius atau dangkal oleh sebagian masyarakat.

4. Kehilangan Autentisitas

Beberapa individu mungkin merasa terdorong untuk menciptakan citra yang ideal dan sempurna dalam upaya menarik pengikut. Hal ini dapat menyebabkan kehilangan autentisitas dan menyembunyikan sisi sejati dari diri mereka.

5. Perubahan Nilai dan Prioritas

Membangun citra dan merek pribadi yang sukses dapat menyebabkan pergeseran nilai dan prioritas individu, di mana keinginan untuk mendapatkan popularitas dan uang dapat menggantikan kebutuhan dan tujuan yang lebih bermakna dalam hidup.

Penting untuk diingat bahwa setiap orang berhak memutuskan bagaimana mereka ingin menggunakan platform digital dan bagaimana mereka ingin mempresentasikan diri mereka. Namun, dampak sosial dan psikologis dari menjadi komoditas digital harus diperhatikan dengan serius. Semua individu harus memiliki kesadaran tentang privasi dan batasan diri, serta mempertahankan kesehatan mental dan nilai-nilai yang autentik dalam proses menciptakan konten dan membangun citra diri di dunia digital.

Referensi:

1. Senft, T. M. (2008). Camgirls: Celebrity & community in the age of social networks. Peter Lang.

2. Wang, C., & Sun, Y. (2017). YouTubers as social influencers: An empirical investigation. Journal of Retailing and Consumer Services, 38, 1-10.

3. Abidin, C. (2016). Aren't these just young, rich women doing vain things online?: Influencer selfies as subversive frivolity. Social Media+ Society, 2(2), 2056305116641342.

4. Piotrowski, J. T., & Kline, S. L. (2019). YouTube, influencers, and beauty consumer culture: Market fragmentation, branding, and aspirational labor. Journal of Business Research, 100, 238-245.

5. De Veirman, M., Cauberghe, V., & Hudders, L. (2017). Marketing through Instagram influencers: The impact of number of followers and product divergence on brand attitude. International Journal of Advertising, 36(5), 798-828.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...