Langsung ke konten utama

Hidup Untuk Menjadi Diri Sendiri Nyatanya Hanya Dikendalikan Oleh Media Sosial

Ya, tentu saja, ayo menjadi diri sendiri dengan cara yang sangat sederhana: "lakukan apa yang kamu suka." Tentu saja, itu berarti kita harus mengabaikan nasihat orang lain yang mungkin memiliki pengalaman dan kebijaksanaan yang berharga. Siapa peduli dengan pandangan mereka? Kita hanya ingin melompat ke dalam tindakan impulsif berdasarkan nafsu sesaat. Karena mengapa perlu belajar dari orang lain, bukan?

Dan, percaya diri! Oh, betapa mudahnya, kan? Percaya diri akan datang begitu saja tanpa upaya. Jika media sosial berkata demikian, maka itu pasti benar. Kita tidak perlu bekerja untuk membangun rasa percaya diri, cukup ikuti kata-kata bijak di media sosial dan semua masalah akan terselesaikan dengan sendirinya.

Ya, tentu saja, hidup kita tidak sesuai dengan narasi yang dipromosikan di media sosial. Kita seharusnya hanya mengejar kesenangan instan dan kepuasan diri tanpa memikirkan konsekuensinya. Siapa peduli dengan tanggung jawab? Pekerjaan yang melelahkan dan kontrol orang lain hanyalah akibat dari kehidupan kita yang penuh kebebasan dan spontanitas, bukan?

Dan oh, jangan lupa untuk tidak mandiri dan menjadi ketergantungan pada orang lain. Mari kita abaikan kenyataan bahwa kita adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi dan dukungan dari orang lain. Kita bisa hidup dalam keadaan isolasi dan merasa sangat bahagia karena kita mengikuti narasi media sosial yang mengatakan bahwa menjadi diri sendiri adalah tentang egoisme dan individualisme tanpa batas.

Ah, tentu saja, kita harus merenungkan hubungan kita dengan orang lain. Tetapi jangan pernah berpikir untuk menghargai pandangan mereka atau belajar dari pengalaman mereka. Kita bisa dengan mudah mengabaikan itu semua dan tetap teguh pada keyakinan bahwa kita lebih pintar dan lebih tahu daripada siapa pun di luar sana.

Jadi, mari kita lanjutkan dengan hidup tanpa perencanaan, tanpa pertimbangan, dan tanpa peduli pada apa yang lebih besar dari diri kita sendiri. Kita akan tetap mempercayai bahwa kata-kata manis di media sosial akan menjadi solusi ajaib untuk semua masalah hidup kita. Mengapa perlu berpikir kritis atau mencari pemahaman yang mendalam tentang diri kita sendiri dan dunia di sekitar kita? Lagipula, apa yang bisa salah dengan mengandalkan narasi dangkal dan omong kosong?

Jadi, mari kita terus hidup dalam kebodohan dan ketidaktahuan, sambil mengejar kebahagiaan seketika tanpa memikirkan dampak jangka panjang. Kita bisa membiarkan media sosial mengendalikan pandangan kita tentang hidup dan mengabaikan realitas yang kompleks dan beragam di sekitar kita. Karena, hei, siapa yang butuh kebenaran atau solusi yang pasti? Hidup adalah permainan dan kita adalah pemain utama yang hanya perlu mengikuti nafsu kita sendiri, bukan? Yah, semoga saja tidak ada yang percaya omong kosong ini!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...