Langsung ke konten utama

Delusi dalam Nama Pembangunan

Pembangunan adalah kata ajaib yang seringkali diucapkan dengan bangga oleh para pemimpin politik dan elit masyarakat. Mereka berbicara tentang pembangunan sebagai simbol keberhasilan dan kesejahteraan masyarakat. Namun, di balik kata-kata manis ini tersembunyi delusi besar yang sulit dipahami oleh banyak orang. Sebuah pertunjukan seperti drama satir yang mengaburkan batas antara kenyataan dan khayalan, membuat kita bertanya-tanya, apa sebenarnya tujuan dari pembangunan ini dan siapa yang benar-benar diuntungkan?

Pembangunan untuk Siapa?

Dalam setiap pidato atau slogan, pemerintah selalu menekankan bahwa pembangunan dilakukan untuk kesejahteraan rakyat. Namun, kenyataannya adalah kepentingan rakyat seringkali tidak menjadi prioritas utama. Penguasaan sumber daya alam dan distribusi kekayaan biasanya terkonsentrasi di tangan segelintir elit yang berkuasa. Rakyat jelata, di sisi lain, sering kali hanya menerima manisnya janji-janji palsu tanpa nikmati hasilnya.

Pembangunan sering kali hanya menguntungkan segelintir kalangan elit yang telah menguasai struktur kekuasaan. Proyek-proyek pembangunan besar, seperti pembangunan infrastruktur megah atau proyek-proyek mega lainnya, lebih sering mendatangkan manfaat finansial bagi kelompok kecil di kalangan penguasa daripada memberikan manfaat nyata kepada masyarakat luas. Hal ini mengarah pada kesenjangan ekonomi dan sosial yang semakin dalam.

Manipulasi dan Kebodohan Massa

Elite politik telah menjadi ahli dalam seni manipulasi dan pengendalian narasi. Dengan bantuan media massa yang mereka kendalikan, mereka dengan cekatan menyajikan pembangunan sebagai sebuah jalan menuju kemakmuran dan kemajuan. Mereka menutup-nutupi fakta bahwa ini hanyalah cerminan dari kepentingan pribadi dan kelompok kecil mereka.

Pemerintah sering menggunakan kekuasaan mereka untuk menutupi kegagalan pembangunan atau mengalihkan perhatian publik dengan berita-berita yang mengalihkan perhatian. Tindakan ini, di tengah masyarakat yang kurang kritis dan kurang akses terhadap informasi yang objektif, membuat mereka mudah dipengaruhi dan tertipu oleh pemerintah yang seolah-olah bekerja untuk kepentingan mereka.

Peran Masyarakat: Alat atau Pajangan?

Dalam narasi ini, muncul pertanyaan yang mendalam tentang peran masyarakat dalam konteks pembangunan. Apakah masyarakat hanyalah alat atau pajangan semata, digunakan oleh elit untuk mencapai ambisi mereka? Apakah suara masyarakat dianggap berarti atau hanya diabaikan ketika tidak sesuai dengan kepentingan elit?

Pada dasarnya, masyarakat harus menjadi jantung dari setiap proses pembangunan. Pemerintah dan elit harus bertanggung jawab kepada masyarakat dan mendengarkan aspirasi mereka. Namun, ironisnya, masyarakat seringkali diberi sedikit ruang untuk berbicara, dan partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan sering kali terbatas.

Antara Mimpi dan Kenyataan

Dalam kondisi seperti ini, pemahaman tentang realitas menjadi kabur dan kita terjebak dalam kebingungan antara mimpi dan kenyataan. Negara yang seharusnya menjadi wadah untuk kepentingan bersama malah terasa seperti ilusi belaka. Masyarakat hidup dalam kebingungan dan sulit membedakan apakah negara itu benar-benar ada untuk mereka atau hanya sebagai cerita dalam mimpi.

Hal ini menciptakan ketidakpercayaan yang dalam terhadap pemerintah dan sistem politik. Saat ketidakpastian merajalela, masyarakat menjadi skeptis terhadap janji-janji politik dan pembangunan yang diucapkan dengan indah. Mereka merasa ditinggalkan oleh penguasa yang semakin jauh dari kepentingan rakyat.

Mencari Terang dalam Gelap

Dalam kebingungan ini, peran masyarakat menjadi sangat penting. Masyarakat harus terus berjuang untuk mendapatkan informasi yang objektif dan terpercaya. Kritis terhadap narasi yang disajikan oleh elit politik dan tidak mudah terpengaruh oleh manipulasi media. Semakin tinggi tingkat kesadaran dan partisipasi aktif masyarakat, semakin sulit bagi elit untuk mengaburkan kenyataan dan menyembunyikan agenda mereka.

Negara seharusnya melayani masyarakat, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk terus menuntut transparansi, akuntabilitas, dan keterlibatan dalam proses pembangunan. Jika masyarakat bersatu dan mengangkat suaranya dengan kuat, mereka dapat menjadi agen perubahan yang sesungguhnya dan memastikan bahwa pembangunan benar-benar bertujuan untuk kepentingan mereka.

Penutup

Delusi dalam nama pembangunan telah menghasilkan dunia yang penuh ketidakpastian. Di tengah janji-janji manis dan retorika politik, masyarakat seringkali mengalami ketidakadilan dan ketidaksetaraan. Pemerintah dan elit masyarakat sering mengabaikan suara masyarakat kecil demi kepentingan mereka sendiri. Dalam situasi ini, masyarakat harus bangkit dan menuntut hak mereka. Hanya dengan kesadaran dan partisipasi aktif mereka, mereka dapat membantu menciptakan negara yang sejati, di mana pembangunan benar-benar melayani kepentingan masyarakat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...