Langsung ke konten utama

Hidup Bagaikan Robot

 Hidup seperti robot, mulai dari masa sekolah dasar hingga dewasa, tampaknya menjadi takdir yang sulit dihindari bagi banyak orang. Sejak usia dini, kita diajari untuk mengejar keunggulan akademis dengan membanjiri pikiran kita dengan fakta-fakta dan rumus matematika yang tak terhitung jumlahnya. Dalam hidup, kita harus bekerja keras untuk mengumpulkan pengetahuan, hanya untuk diuji dalam bentuk tes dan ulangan yang tak ada habisnya. Dalam dunia ini, tak ada ruang untuk pemikiran kreatif atau eksplorasi yang bebas. Semuanya tentang menjalani rutinitas yang telah ditentukan sebelumnya.


Sungguh sebuah dilema yang menyakitkan, seolah-olah kita hanya menjadi mesin yang harus diprogram dan diperintah. Selama hidup kita, kita seringkali dikontrol oleh berbagai pihak: guru, orang tua, dan bahkan bos di tempat kerja. Seperti robot yang mengikuti perintahnya, kita harus taat dan patuh tanpa banyak bertanya. Namun, pertanyaannya adalah, apakah kita bahagia dengan hidup seperti ini?


Bekerja seperti robot di tempat kerja, dimana rutinitas dan target harus dipenuhi tanpa ampun, menjadi sebuah kewajiban yang melelahkan. Pekerjaan yang menguras energi fisik dan mental, dan terkadang tidak memberikan kepuasan yang sepadan. Namun, kita dipaksa untuk terus melakukannya karena tidak ada pilihan lain. Harus bekerja untuk bertahan hidup, untuk membayar tagihan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.


Di sisi lain, jika kita berhenti, kita tidak akan mendapatkan uang. Kita tidak dapat membiarkan diri kita tenggelam dalam kemalasan atau kebebasan yang kita impikan. Bahkan untuk mencari kebahagiaan, kita dihadapkan dengan realitas yang pahit. Semua yang kita inginkan dalam hidup ini, semuanya harus dibayar. Bahagia pun menjadi sebuah komoditas yang berharga, bukan hak setiap individu.


Tidak hanya itu, hidup kita semakin terjepit dalam kontrol yang semakin kuat. Dari sekolah, kita diarahkan untuk mengejar nilai yang tinggi agar bisa masuk ke perguruan tinggi yang bergengsi. Setelah itu, kita harus mencari pekerjaan dengan gaji yang tinggi, agar bisa hidup nyaman dan dihormati oleh masyarakat. Begitu seterusnya, dalam lingkaran tak berujung dari tuntutan dan kontrol eksternal.


Kita hidup dalam dunia yang semakin terkontrol, dimana kita hanya menjadi bagian kecil dari mesin besar yang menggerakkan roda perekonomian. Seiring berjalannya waktu, kita semakin kehilangan identitas kita sebagai manusia yang berpikir dan merasakan. Kita menjadi sekadar angka dalam statistik pertumbuhan ekonomi, bukan individu dengan impian dan ambisi.


Seolah-olah kesenangan dan kebahagiaan adalah barang mewah yang hanya bisa dinikmati oleh orang-orang berduit. Jika ingin bahagia, kita harus membayar dengan uang. Jika ingin kesenangan, kita harus merogoh kocek lebih dalam. Semua menjadi transaksi bisnis, termasuk perasaan dan emosi kita.


Mungkin, sudah saatnya kita mempertanyakan apakah hidup seperti robot ini layak untuk kita jalani. Apakah tujuan sejati kehidupan kita adalah sekadar mengumpulkan uang dan mengikuti rutinitas tanpa akhir? Apakah kebahagiaan sejati hanya bisa didapatkan dengan membayar?


Bukankah seharusnya hidup adalah tentang mengejar impian dan tujuan yang sebenarnya? Tentang menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana dan mendalam, bukan dalam hal-hal materi yang fana? Bukankah kebebasan berpikir dan bertindak adalah hak setiap manusia, tanpa harus dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan eksternal?


Mungkin sudah saatnya kita mengubah paradigma tentang hidup ini. Kita harus berani mencari arti sejati dari kebahagiaan, bukan hanya dalam hal finansial, tetapi juga dalam hal emosi dan spiritual. Kita harus berani membebaskan diri kita dari belenggu kontrol dan tuntutan yang tak masuk akal.


Kita adalah manusia, bukan robot. Kita memiliki kehendak dan potensi untuk menciptakan hidup yang berarti dan bermakna. Kita harus berani menentang sistem yang mengekang dan mengabaikan martabat kita sebagai manusia. Hidup ini mungkin bukan surga, tetapi setidaknya kita harus berhak untuk mengejar kebahagiaan tanpa harus membayar dengan harga yang mahal.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...