Hidup seperti robot, mulai dari masa sekolah dasar hingga dewasa, tampaknya menjadi takdir yang sulit dihindari bagi banyak orang. Sejak usia dini, kita diajari untuk mengejar keunggulan akademis dengan membanjiri pikiran kita dengan fakta-fakta dan rumus matematika yang tak terhitung jumlahnya. Dalam hidup, kita harus bekerja keras untuk mengumpulkan pengetahuan, hanya untuk diuji dalam bentuk tes dan ulangan yang tak ada habisnya. Dalam dunia ini, tak ada ruang untuk pemikiran kreatif atau eksplorasi yang bebas. Semuanya tentang menjalani rutinitas yang telah ditentukan sebelumnya.
Sungguh sebuah dilema yang menyakitkan, seolah-olah kita hanya menjadi mesin yang harus diprogram dan diperintah. Selama hidup kita, kita seringkali dikontrol oleh berbagai pihak: guru, orang tua, dan bahkan bos di tempat kerja. Seperti robot yang mengikuti perintahnya, kita harus taat dan patuh tanpa banyak bertanya. Namun, pertanyaannya adalah, apakah kita bahagia dengan hidup seperti ini?
Bekerja seperti robot di tempat kerja, dimana rutinitas dan target harus dipenuhi tanpa ampun, menjadi sebuah kewajiban yang melelahkan. Pekerjaan yang menguras energi fisik dan mental, dan terkadang tidak memberikan kepuasan yang sepadan. Namun, kita dipaksa untuk terus melakukannya karena tidak ada pilihan lain. Harus bekerja untuk bertahan hidup, untuk membayar tagihan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Di sisi lain, jika kita berhenti, kita tidak akan mendapatkan uang. Kita tidak dapat membiarkan diri kita tenggelam dalam kemalasan atau kebebasan yang kita impikan. Bahkan untuk mencari kebahagiaan, kita dihadapkan dengan realitas yang pahit. Semua yang kita inginkan dalam hidup ini, semuanya harus dibayar. Bahagia pun menjadi sebuah komoditas yang berharga, bukan hak setiap individu.
Tidak hanya itu, hidup kita semakin terjepit dalam kontrol yang semakin kuat. Dari sekolah, kita diarahkan untuk mengejar nilai yang tinggi agar bisa masuk ke perguruan tinggi yang bergengsi. Setelah itu, kita harus mencari pekerjaan dengan gaji yang tinggi, agar bisa hidup nyaman dan dihormati oleh masyarakat. Begitu seterusnya, dalam lingkaran tak berujung dari tuntutan dan kontrol eksternal.
Kita hidup dalam dunia yang semakin terkontrol, dimana kita hanya menjadi bagian kecil dari mesin besar yang menggerakkan roda perekonomian. Seiring berjalannya waktu, kita semakin kehilangan identitas kita sebagai manusia yang berpikir dan merasakan. Kita menjadi sekadar angka dalam statistik pertumbuhan ekonomi, bukan individu dengan impian dan ambisi.
Seolah-olah kesenangan dan kebahagiaan adalah barang mewah yang hanya bisa dinikmati oleh orang-orang berduit. Jika ingin bahagia, kita harus membayar dengan uang. Jika ingin kesenangan, kita harus merogoh kocek lebih dalam. Semua menjadi transaksi bisnis, termasuk perasaan dan emosi kita.
Mungkin, sudah saatnya kita mempertanyakan apakah hidup seperti robot ini layak untuk kita jalani. Apakah tujuan sejati kehidupan kita adalah sekadar mengumpulkan uang dan mengikuti rutinitas tanpa akhir? Apakah kebahagiaan sejati hanya bisa didapatkan dengan membayar?
Bukankah seharusnya hidup adalah tentang mengejar impian dan tujuan yang sebenarnya? Tentang menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana dan mendalam, bukan dalam hal-hal materi yang fana? Bukankah kebebasan berpikir dan bertindak adalah hak setiap manusia, tanpa harus dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan eksternal?
Mungkin sudah saatnya kita mengubah paradigma tentang hidup ini. Kita harus berani mencari arti sejati dari kebahagiaan, bukan hanya dalam hal finansial, tetapi juga dalam hal emosi dan spiritual. Kita harus berani membebaskan diri kita dari belenggu kontrol dan tuntutan yang tak masuk akal.
Kita adalah manusia, bukan robot. Kita memiliki kehendak dan potensi untuk menciptakan hidup yang berarti dan bermakna. Kita harus berani menentang sistem yang mengekang dan mengabaikan martabat kita sebagai manusia. Hidup ini mungkin bukan surga, tetapi setidaknya kita harus berhak untuk mengejar kebahagiaan tanpa harus membayar dengan harga yang mahal.
Komentar
Posting Komentar