Langsung ke konten utama

Modernitas dalam Pemikiran Althusser

Louis Althusser merupakan seorang pemikir Marxis yang signifikan dalam kajian tentang modernitas. Dalam pemikirannya, Althusser menyoroti peran ideologi dalam membentuk masyarakat dan menciptakan struktur kekuasaan yang dominan. Pendekatan Althusser terhadap modernitas menawarkan wawasan yang menarik tentang bagaimana sistem-sistem sosial, politik, dan budaya berkembang dalam masyarakat modern.

Dalam tulisan ini, kami akan menjelaskan konsepsi Althusser tentang modernitas dan peran ideologi dalam pembentukannya. Kami akan membahas pandangannya mengenai ideologi sebagai alat untuk mempertahankan dominasi kelas dan peran lembaga-lembaga ideologis negara dalam menyebarkan nilai-nilai yang mendukung struktur kekuasaan yang ada. Melalui pemahaman ini, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana modernitas dan ideologi saling terkait dalam membentuk masyarakat kontemporer.

Pengertian modernitas menurut Althusser

Pengertian modernitas menurut Althusser memiliki keberbedaan yang signifikan dengan pemahaman konvensional. Althusser melihat modernitas sebagai suatu ideologi yang terlibat dalam penciptaan dan pemeliharaan struktur kekuasaan yang dominan.

Althusser berpendapat bahwa modernitas bukanlah keadaan alami atau evolusi sosial yang organik, tetapi konstruksi sosial yang dibentuk oleh kelas dominan untuk menjaga dominasi mereka. Modernitas adalah produk dari ideologi dan institusi yang bekerja untuk menghasilkan konsep-konsep, nilai-nilai, dan norma-norma yang memperkuat ketidaksetaraan sosial.Top of Form

A. Analisis Althusser tentang transformasi sosial dalam konteks modernitas

Menurut Althusser, transformasi sosial tidak terjadi secara spontan atau acak. Ia berpendapat bahwa perubahan sosial dipengaruhi oleh konflik dan perjuangan antara kelas-kelas sosial yang berbeda dalam masyarakat. Dalam perspektif Marxisnya, Althusser menekankan peran ideologi sebagai agen yang memainkan peran penting dalam pembentukan masyarakat.

Althusser mengidentifikasi ideologi sebagai mekanisme yang mampu mempengaruhi cara berpikir dan bertindak individu dalam masyarakat. Melalui institusi-institusi seperti sekolah, media massa, agama, dan keluarga, ideologi menciptakan konsep-konsep, nilai-nilai, dan keyakinan yang memperkuat dominasi kelas yang ada. Ideologi memainkan peran kunci dalam mempertahankan struktur
kekuasaan yang berlaku dan melegitimasinya.

Althusser juga membedakan antara "Aparatus Represif Negara" (ARS) dan "Aparatus Ideologis Negara" (AIS). ARS mencakup kekuatan negara seperti kepolisian dan militer yang digunakan untuk menindas potensi perlawanan terhadap pemerintahan. Di sisi lain, AIS terdiri dari lembaga-lembaga non-negara seperti sekolah, media massa, dan keluarga yang berperan dalam menginternalisasi ideologi dan menciptakan kelas masyarakat yang mengadopsi pandangan dunia yang sesuai dengan kepentingan kelas dominan.

Analisis Althusser tentang transformasi sosial memiliki relevansi yang kuat dalam konteks modernitas. Dalam era ini, kita dapat melihat adanya perubahan sosial yang kompleks dan cepat. Melalui perspektif Althusser, kita dapat memahami bahwa transformasi sosial tidak terjadi secara acak, tetapi dipengaruhi oleh konflik dan perjuangan antara kelas-kelas sosial.

Selain itu, dalam konteks modernitas yang dipenuhi dengan pengaruh media dan lembaga-lembaga ideologis lainnya, analisis Althusser tentang peran ideologi membantu kita memahami bagaimana pemikiran dan tindakan individu dipengaruhi oleh nilai-nilai yang ditanamkan oleh kekuatan dominan. Dengan demikian, pemahaman ini menjadi penting dalam mengkritisi dan memahami dinamika
sosial yang terjadi dalam masyarakat modern.

B. Peran ideologi dalam membentuk modernitas

Peran ideologi dalam membentuk modernitas tidak dapat diabaikan. Ideologi memiliki kekuatan yang kuat dalam membentuk tatanan sosial, politik, dan budaya yang kita alami saat ini. Ideologi-ideologi seperti liberalisme, kapitalisme, sosialisme, dan nasionalisme telah menjadi pilar-pilar modernitas yang membentuk pandangan dunia kita dan tata cara hidup kita.

Ideologi-ideologi ini memberikan landasan filosofis dan nilai-nilai yang mendasari sistem politik, ekonomi, dan sosial yang kita anut. Mereka mempengaruhi bagaimana kita memandang hak asasi manusia, kebebasan individu, kepemilikan, persamaan, dan keadilan. Ideologi juga membentuk institusi-institusi yang menjadi bagian penting dari modernitas, seperti parlemen, pasar bebas, sistem pendidikan, dan media massa.

Dalam bukunya yang berjudul "The Condition of Postmodernity", David Harvey menjelaskan bagaimana ideologi kapitalisme telah menjadi pilar utama dalam pembentukan modernitas. Ideologi kapitalisme menekankan nilai-nilai seperti akumulasi kekayaan, persaingan, dan pertumbuhan ekonomi yang tak terbatas. Hal ini telah mengubah cara kita memandang nilai-nilai seperti konsumsi, kemajuan teknologi, dan peran pasar dalam kehidupan kita sehari-hari.

Namun, kita juga perlu mengakui bahwa peran ideologi dalam membentuk modernitas tidaklah statis atau homogen. Terdapat berbagai ideologi yang berbeda-beda, dan interaksi antara ideologi-ideologi ini dapat menciptakan pergeseran dan perubahan dalam masyarakat. Sebagai contoh, gerakan feminisme, gerakan hak sipil, dan gerakan lingkungan telah mencoba untuk menantang dan memodifikasi ideologi-ideologi yang dominan dalam upaya membentuk modernitas yang lebih inklusif, adil, dan berkelanjutan.

Dalam hal ini, tulisan Francis Fukuyama yang berjudul "The End of History and the Last Man" juga menjadi referensi yang relevan. Fukuyama berpendapat bahwa ideologi liberalisme telah menjadi dominan dalam dunia modern dan menggambarkan visi akhir dari evolusi politik dan ideologis. Namun, dia juga mengakui adanya tantangan dan perubahan yang terjadi di dalam modernitas yang mengarah pada pencarian konstan akan keadilan dan identitas yang lebih baik.

Referensi:

  • Harvey, D. (1990). The Condition of Postmodernity: An Enquiry into the Origins of Cultural Change. Blackwell Publishers.
  • Fukuyama, F. (1992). The End of History and the Last Man. Free Press.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...