Langsung ke konten utama

Lupakan Jati Diri Ditengah Kapitalisme

Menjadi diri sendiri di tengah gempuran era kapitalisme adalah hal yang luar biasa! Siapa yang butuh keseimbangan antara memenuhi tuntutan sosial dan mengikuti tren terbaru? Tentu bukan kita, manusia unik dan orisinal yang hidup di zaman di mana "siapa yang tidak punya sesuatu yang keren adalah manusia tidak berarti".

Mari nikmati momen ketika kita merasa terjebak dalam tekanan konstan untuk terus bersaing dengan orang lain dan menjadi konsumen setia dalam dunia yang didominasi oleh materi. Betapa menariknya hidup di tengah penekanan terus-menerus untuk menjadi bagian dari kelompok populer yang mengikuti arus utama!

Bagi beberapa orang, menjadi diri sendiri adalah perjuangan sejati. Bagaimana bisa kita melupakan kegilaan untuk terus berusaha memperlihatkan bahwa kita unggul dalam menciptakan citra sempurna di media sosial? Lupakan saja identitas diri, buatlah citra yang sesuai dengan standar kecantikan dan kesuksesan yang ditentukan oleh kapitalisme. Siapa yang butuh pengakuan diri ketika kita bisa mendapatkan likes dan komentar penuh pujian dari orang-orang yang sebenarnya tidak begitu peduli dengan kita?

Oh, dan jangan lupa tentang peran media yang sangat membantu dalam membingungkan kita tentang siapa sebenarnya diri kita. Mereka dengan berani menyuguhkan standar yang tidak realistis tentang tubuh, kekayaan, dan prestasi. Jadi, mengapa memikirkan tentang menjadi diri sendiri ketika kita bisa terus berusaha menjadi seperti selebriti papan atas yang ternyata menyembunyikan banyak sekali masalah dan kecemasan di balik senyum palsu mereka?

Tentu saja, menjadi diri sendiri tidaklah mudah. Tapi siapa bilang kita harus memilih jalur yang lebih sederhana dan autentik? Mengapa tidak menerima diri kita sendiri sebagai bagian dari mesin konsumsi, membiarkan iklan-iklan yang menghipnotis mengendalikan keinginan kita, dan terus menghamburkan uang untuk hal-hal yang sebenarnya tidak kita butuhkan? Toh, itu adalah bagian dari "kebahagiaan" di era kapitalisme, bukan?

Kita bisa menikmati hidup dengan terus merasa tidak puas dan selalu ingin lebih. Jangan biarkan diri kita puas dengan apa yang kita miliki, selalu cari sesuatu yang baru untuk dibeli, dan berpikir bahwa kebahagiaan itu datang dari hal-hal material. Karena siapa yang butuh kedamaian batin dan kepuasan diri, kan?

Dan ingat, jangan pernah berhenti untuk membandingkan diri kita dengan orang lain. Lihatlah betapa bahagianya hidup mereka, berapa banyak yang mereka miliki, dan betapa sempurnanya kehidupan mereka. Jadikan itu sebagai motivasi untuk terus berusaha menjadi seperti mereka, tanpa pernah berhenti untuk menyadari bahwa itu semua hanyalah ilusi yang dibangun oleh masyarakat konsumeris.

Jadi, yuk terus hidup di tengah gempuran era kapitalisme ini! Teruslah memperjuangkan citra sempurna, mengikuti arus tren terbaru, dan berlomba-lomba menjadi konsumen paling rajin. Jangan pernah berhenti untuk mengejar sesuatu yang sebenarnya tidak pernah bisa memenuhi kebutuhan jiwa kita. Bagaimana lagi kita bisa hidup dengan begitu menyenangkan dan penuh tekanan sekaligus?

Ingatlah, menjadi diri sendiri itu membosankan. Jadilah bagian dari kerumunan, terus berusaha untuk selalu tampil sempurna, dan percayalah bahwa kebahagiaan itu datang dari hal-hal material dan pujian dari orang lain. Karena pada akhirnya, itu adalah tujuan hidup sejati di era kapitalisme yang tak terbantahkan!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...