Langsung ke konten utama

Katanya Perempuan tak Mau Dibilang Objek

Perempuan modern. Begitu keras dan tegas dalam menyatakan bahwa mereka bukan objek, bahwa mereka ingin diperlakukan sebagai subjek yang setara dengan kaum pria. Tapi tunggu dulu, apakah mereka benar-benar begitu? Mari kita jujur dengan diri sendiri dan teliti fenomena yang kita lihat di media sosial, tempat kebenaran sering kali tersembunyi di balik lapisan tipis hipokrisi.

Mereka berbicara tentang menginginkan perlakuan yang sama seperti kaum pria. Mereka ingin menjadi subjek, bukan sekadar objek yang dipandang sebagai hiasan semata. Tapi tentu saja, itu hanya sampai Anda membuka aplikasi media sosial. Di sana, seolah-olah terdapat satu-satunya tujuan di dunia: mendapatkan pujian atas penampilan mereka.

Oh ya, mereka sangat menegaskan bahwa mereka bukanlah objek seksual. Tidak, tentu tidak. Namun, coba saja lihat feed Instagram mereka, di mana pose-pose sensual dengan caption-captions yang mengundang begitu leluasa mereka tampilkan. Ah, betapa "ekspresifnya" mereka dalam mengekspresikan kecantikan fisik mereka. Mengapa memerhatikan pujian dari satu orang ketika Anda bisa mendapatkan sekumpulan jutaan mata yang memandangi Anda di layar ponsel mereka?

Mereka menyangkal ingin menjadi objek konsumsi, tetapi begitu bahagianya ketika foto-foto mereka mendapatkan ribuan like dan komentar pujian. Mereka memang tahu cara mendapatkan perhatian. Tidak heran jika menjadi "objek" yang mendapatkan banyak cinta dari orang asing di dunia maya lebih menarik daripada menjadi subjek dalam kehidupan sehari-hari.

Mungkin Anda akan mendengar argumen mereka bahwa ini adalah bentuk ekspresi diri. Mereka berdalih bahwa melalui media sosial, mereka memiliki kesempatan untuk menunjukkan sisi kreatif dan pribadi mereka. Betul, sangat kreatif memamerkan tubuh mereka dari segala sudut pandang untuk mendapatkan likes, bukan?

Tapi jangan salah paham. Kami tidak mencoba menghakimi atau merendahkan upaya mereka untuk mengekspresikan diri. Tetapi ada perbedaan yang mencolok antara "ekspresi diri" dan mencari validasi dari orang asing dengan menampilkan kecantikan fisik. Itu tidak lebih dari sekadar mengikuti tren dan ekspektasi yang dihadirkan oleh masyarakat.

Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan ingin tampil menarik dan mendapatkan apresiasi. Tapi, jika kita ingin membangun citra yang kuat tentang bahwa perempuan adalah subjek yang setara, kita harus menghadapinya dengan lebih konsisten. Itu berarti fokus pada prestasi, kecerdasan, dan kontribusi mereka yang jauh lebih bernilai daripada penampilan fisik semata.

Jadi, mari kita akhiri hipokrisi ini. Mari akui bahwa perempuan, seperti pria, ingin dilihat dan diakui. Namun, mari kita juga bersikap realistis tentang bagaimana cara mereka mencari pengakuan dan bagaimana hal itu terkadang bertentangan dengan narasi kuat tentang menjadi subjek yang sejajar. Jika kita ingin perempuan benar-benar diperlakukan sebagai subjek, kita perlu menghargai dan mengapresiasi mereka atas hal-hal yang lebih mendalam daripada sekadar penampilan fisik yang dilihat oleh banyak mata dalam sekejap di dunia maya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...