Langsung ke konten utama

Kapitalisme dalam Bingkai Id, Ego, dan Super Ego

Kapitalisme telah menjadi sistem ekonomi yang mendominasi dunia modern. Dengan prinsip dasar kepemilikan swasta, produksi untuk keuntungan, dan persaingan pasar yang bebas, kapitalisme telah mengakar dalam sendi-sendi kehidupan kita. Dalam pandangan psikoanalisis Sigmund Freud, konsep id, ego, dan super ego dapat diterapkan untuk memahami tingkatan-tingkatan kapitalisme dan dampaknya pada masyarakat.

Pertama, mari kita bahas kapitalisme tipe "id." Kapitalisme primitif atau "id" adalah bentuk paling awal dari kapitalisme yang menekankan akumulasi primitif tanpa memedulikan konsekuensi sosial dan moralnya. Dalam pencariannya untuk mencapai keuntungan, pelaku kapitalisme tipe "id" seringkali melibatkan tindakan ilegal atau eksploitasi sumber daya alam secara tidak bertanggung jawab. Mereka cenderung melakukan land grabbing, merampas tanah dari masyarakat lokal, dan mengabaikan hak-hak masyarakat adat.

Kapitalisme tipe "id" ini cenderung mengutamakan diri sendiri dan keuntungan pribadi tanpa mempertimbangkan dampaknya pada lingkungan dan masyarakat sekitar. Sikap mereka yang ganas dalam mengejar keuntungan dapat menyebabkan kerusakan sosial dan lingkungan yang serius, tanpa rasa tanggung jawab terhadap dampaknya pada kehidupan orang lain.

Kemudian, ada kapitalisme tipe "ego." Kapitalisme tipe "ego" mencerminkan tahap berikutnya dalam evolusi kapitalisme, di mana pelaku ekonomi mulai mempertimbangkan aspek legalitas dalam tindakan mereka. Mereka berusaha mencari cara untuk memanipulasi bisnis mereka agar sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku, meskipun tetap menggunakan praktik-praktik yang meragukan dari segi moralitas.

Kapitalisme tipe "ego" ini mungkin tidak terlihat sejahat kapitalisme tipe "id," karena mereka cenderung berpikir realistis dan berusaha menjalankan bisnis secara legal di permukaan. Namun, praktik mereka seringkali tetap merugikan masyarakat, seperti penyalahgunaan tenaga kerja, eksploitasi lingkungan, dan upaya menciptakan monopoli yang merugikan konsumen.

Akhirnya, kita mencapai kapitalisme tipe "super ego." Kapitalisme tipe "super ego" adalah bentuk paling licik dan sulit dideteksi dari kapitalisme. Mereka mencitrakan diri mereka sebagai agen perubahan sosial yang positif, seringkali menyatakan komitmen mereka terhadap kebaikan masyarakat, lingkungan, dan kesejahteraan sosial.

Namun, di balik retorika mereka yang baik, kapitalisme tipe "super ego" ini berusaha menyembunyikan tujuan utama mereka: memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Mereka menggunakan strategi manipulatif dan kampanye branding yang cerdik untuk menarik simpati publik dan menciptakan citra positif bagi bisnis mereka.

Ketimpangan ekonomi dan sosial seringkali terjadi pada tipe kapitalisme ini karena mereka mampu menguasai dan memanfaatkan pasar dengan cara yang sulit dideteksi oleh masyarakat umum. Pada akhirnya, kebaikan yang mereka tampilkan seringkali hanyalah ilusi untuk menutupi ambisi pribadi mereka.

Meskipun kapitalisme telah menjadi kekuatan ekonomi yang tak terbantahkan dalam dunia modern, kita harus memahami dan mengkritisi berbagai tingkatan kapitalisme yang ada. Kapitalisme tipe "id" yang ganas, kapitalisme tipe "ego" yang manipulatif, dan kapitalisme tipe "super ego" yang licik semuanya memiliki dampak negatif pada masyarakat dan lingkungan.

Sebagai masyarakat, penting bagi kita untuk terus mengawasi, mengatur, dan memastikan bahwa sistem ekonomi yang kita anut mempertimbangkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh anggota masyarakat. Kapitalisme dapat menjadi alat yang kuat untuk mencapai kemajuan dan kemakmuran, tetapi hanya jika dikelola dengan bijaksana dan bertanggung jawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...