Langsung ke konten utama

Inovasi Pembodohan Masa

Di zaman yang modern ini bukan berarti pikiran dan sistem sosial itu semakin modern dan jauh lebih baik. Modern mungkin bisa dikatakan tidak hanya sekedar sesuatu hal yang baru namun juga bisa menghasilkan masalah baru. Dibalik inovasi baru pasti akan memunculkan masalah baru. 

Apalagi dalam hal sosial mungkin ini adalah dunia yang sangat kompleks. Sering kami kita menatap jauh ke dapat dengan teknologi-teknologi canggih namun tidak pernah terpikir bahwa kecanggihan itu justru malah menghasilkan dampak yang lebih buruk lagi. 

Seperti semisalnya permasalahan mengenai kekerasan baik itu dialami oleh pria maupun wanita. Mungkin kekerasan tidak hanya ada di zaman modern saja namun sejak dulu kekerasan sudah ada dan banyak namun bisanya setiap kekerasan itu muncul karena sebab yang berbeda. 

Jika dulu orang melakukan kekerasan karena sebuah aliran kepercayaan namun mungkin saat ini sudah jarang orang yang melakukan kerasan pada karena sebab aliran kepercayaan. Namun kekerasan bukan berhenti begitu saja, kekerasan justru tetap ada meski dengan sebab yang berbeda. Seperti pada masa sekarang ini dimana kekerasan itu dilakukan karena banyak tontonan yang tidak baik di media sosial. Mungkin ini terlihat berbeda namun ada kesamaan yakni ada sebuah keyakinan atau kepercayaan. Yang mana kepercayaan yang buruk dalam artian itu menghasilkan perilaku buruk karena tindakan itu disebabkan karena ajaran yang setiap hari dijejali secara terus menerus sehingga itu menjadi sebuah kepercayaan bahkan menjadi sebuah kesenangan dan akhirnya menjadi jati diri seseorang. 

Sebenarnya perlukah kita menghilangkan biang kekerasan. Seperti media sosial yang mana mungkin mestinya harus ditutup karena terlalu banyak dampak negatif pada pikiran. Tapi ini terlalu naif sebenarnya, dimana melihat sesuatu hanya dari satu sudut pandang saja. Menghilangkan sesuatu karena hal tersebut memicu dampak buruk lalu ketika membinasakan hal tersebut bukan berarti menghilangkan banyak masalah akan tetapi justru menimbulkan problematika yang lebih buruk lagi dan lebih kompleks lagi. Jika media sosial apapun itu ditutup misalnya tentu bukannya mengurangi angka kekerasan namun ia memunculkan masalah yakni orang-orang yang menggunakan media sosial pun juga merasa rugi. Karena di balik sisi buruknya pasti masih memunculkan sisi baiknya. 

Memang perlu adanya riset dan kebijakan yang begitu detail dalam merumuskan persoalan lalu mencari sebuah solusi yang tepat. Kita mungkin memiliki sebuah solusi yang tepat dalam menyelesaikan sebuah persoalan. Namun tentu akan ada saja yang menghalanginya, tentunya mereka yang memiliki kepentingan bisnis. Mungkin konten-konten yang berbau negatif adalah sesuatu hal yang merugikan bagi para konsumen entah hal tersebut dapat merugikan dirinya atau membuat dirinya menjadi pribadi yang buruk. 

Namun di sisi lain ada kepentingan yang lain mengapa keburukan itu tetap dilanggengkan, yakni mereke yang mengambil keuntungan dari hal tersebut. Konten-konten yang berbau porno atau kekerasan atau makanan yang membuat kecanduan adalah sebuah barang yang laku di pasaran. Para pebisnis yang tak bermoral tidak pernah peduli apakah barangnya berdampak baik atau buruk, yang terpenting apa yang ia jual itu bisa laku dipasaran. 

Ini lah yang menjadi itu masalah yang sesungguhnya. Di sisi lain sebuah masalah itu sering bermunculan namun di sisi lain ada orang-orang yang melanggengkan sebuah masalah. Jadi masalah menurut mereka adalah sebuah keberkahan, yang terpenting masalah itu tidak menjadi masalah bagi diri mereka. 

Mereka menciptakan inovasi yang terlihat cemerlang namun di balik itu semua rupanya mereka menyembunyikan topeng kebusukan mereka. Inovasi seakan-akan menciptakan sebuah solusi padahal ini hanyalah mengambil kesempatan dari sebuah kecelakaan. Ia tidak membuat anda agar tidak merugi ia justru membuat anda agar merugi, karena kerugian bagi anda adalah keuntungan bagi pada pebisnis. 

Mana mungkin para pengusaha menciptakan barang yang awet, tentu ini sangat merugikan dirinya. Tentu ini akan menciptakan barang yang tidak tahan lama agar mereka bisa membeli dan beli lagi dan saat inilah mulai rantai ketergantungan ekonomi tercipta. 

Inovasi hanyalah sebuah ide bagaimana perusahaan bisa mengambil keuntungan bagi banyak orang. Terkadang mungkin ia satu frekuensi dengan permasalahan kita, namun ia juga bisa menciptakan solusi tanpa masalah dan pada akhirnya justru menjadi masalah. Pada awalnya media sosial yang seperti tadi dibicarakan sebenarnya buka lah masalah dan anta tanpa media sosial pun tidak akan bermasalah. Namun ini menjadi sebuah masalah ketika kita sudah ketergantungan media sosial seakan-akan media sosial adalah kebutuhan hidup yang lebih diprioritaskan ketimbang dunia nyata. 

Pikiran kita saat ini banyak dikacaukan oleh berbagai suguhan inovasi yang tak sejalan dengan kebutuhan hidup kita. Pantas saja manusia saat ini banyak yang kehilangan jati dirinya, karena saat ini kita sering kali disuguhkan oleh berbagai pesona barang yang katanya inovatif padahal ia hanya ingin uang anda. Memang kita sebenarnya sulit bahkan tidak bisa untuk menghilangkan itu semua, namun kita sebenarnya bisa men-couter-nya dengan cara tidak membeli barang yang tidak perlu untuk dibeli atau menggunakan media hiburan secukupnya saja. Bukankah kebahagiaan itu muncul dari sesuatu yang cukup bukan sesuatu yang berlebih. 

Jika kita sepakan dengan pikiran yang demikian bahwa kita membeli barang untuk seperlunya, maka tidak menutup kemungkinan bahwa mereka pun akan merubah mindset mereka dalam berinovasi. Bukankah pembeli adalah raja yang mana mestinya raja yang mengatur produsennya atau menjualnya bukan seolah-olah mereka yang menjadi raja di atas muka bumi. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...