Langsung ke konten utama

Tidur Ternyata Bukan Kemewahan Milik Semua Orang

 


Tidur, sesuatu yang katanya hak dasar setiap manusia, kini berubah menjadi barang mewah yang harus dibayar mahal. Ya, tidur pun punya harganya. Tidak percaya? Mari kita hitung. Ada sewa rumah yang harus dilunasi setiap bulan, token listrik yang bunyinya lebih nyaring daripada hati nurani pejabat, dan kasur yang makin lama makin keras karena belum sanggup beli baru. Ironis, bukan? Kita bekerja siang malam untuk sekadar menikmati tidur yang tak pernah benar-benar nyenyak, sementara mereka—entah siapa mereka itu—hidup dari uang kita, menikmati kemewahan tanpa perlu mengkhawatirkan esok hari.

Ah, lihatlah mereka, para penghuni rumah megah dengan kasur empuk yang tak pernah merasakan pegal. Tidur mereka pasti dalam, tanpa diganggu bunyi token listrik yang berbunyi minta diisi. Sementara itu, kita? Tidur kita adalah perjuangan. Berputar-putar di kasur yang mulai tenggelam di tengah, memikirkan tagihan yang menumpuk, bahkan bermimpi pun sulit karena otak kita terus menghitung hari ke gajian berikutnya.

Tapi tunggu, bukankah uang mereka berasal dari uang kita? Pajak ini, retribusi itu, semuanya dari keringat kita. Namun, kemana semua itu pergi? Oh, tentu saja, bukan untuk kita. Uang itu diubah menjadi fasilitas mewah, gaji besar, dan kasur yang empuk untuk mereka yang katanya "melayani masyarakat." Melayani? Rasanya lebih seperti mereka melayani diri sendiri. Kita yang bekerja keras, mereka yang menikmati hasilnya.

Ini bukan sekadar soal tidur, ini soal keadilan. Kita sama-sama manusia, sama-sama punya kebutuhan dasar. Tapi kenapa hidup ini terasa seperti kompetisi, di mana kita selalu ada di posisi kalah? Tidur saja harus diperjuangkan, sementara mereka tinggal memejamkan mata tanpa beban. Kalau hidup ini permainan, maka jelas mereka sudah curang sejak awal.

Pernahkah mereka berpikir bagaimana rasanya hidup di bawah jembatan? Atau harus berbagi kamar dengan 10 orang lain hanya untuk menghemat sewa? Tentu tidak. Karena bagi mereka, kemiskinan adalah statistik, bukan kenyataan. Mereka tidak tahu rasanya tidur dengan perut lapar atau dikejutkan mimpi buruk soal tagihan yang belum terbayar. Hidup mereka adalah katalog kemewahan, sementara kita hidup dalam katalog masalah.

Oh, tapi tunggu, mungkin kita harus bersyukur. Mereka bilang, "Kamu masih punya tempat untuk tidur, masih punya listrik, masih bisa makan." Ah, terima kasih atas ceramah moral itu. Tapi bagaimana jika kita tukar tempat? Mereka yang tidur di kasur keras kita, mereka yang mendengar bunyi token listrik kita. Apa mereka masih bisa bilang, "Bersyukurlah"?

Realitanya, kita tidak pernah benar-benar tidur. Pikiran kita terus berjalan, memikirkan bagaimana bertahan hidup di dunia yang terasa lebih seperti jebakan. Dan sementara kita terjaga, mereka terlelap. Bukan karena mereka lelah, tapi karena mereka tidak perlu memikirkan apa pun. Hidup mereka adalah mimpi, hidup kita adalah kenyataan yang pahit.

Jadi, apakah kita hanya bisa menggigit jari melihat mereka tertidur pulas? Mungkin. Tapi ingat, sejarah telah menunjukkan bahwa orang yang paling terjaga, yang paling sadar akan ketidakadilan, adalah mereka yang akhirnya mengubah dunia. Jadi, meski kita tidak bisa tidur dengan tenang malam ini, setidaknya kita bisa bangun dengan tekad untuk membuat perbedaan. Karena jika tidak, selamanya kita akan menjadi penonton dalam mimpi indah mereka, sementara kita terus terjebak dalam realita yang tak pernah adil.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tuhan tidak Menciptakan Kemiskinan

Kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak- hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Lalu apakah kemiskinan itu tuhan sendiri yang menciptakannya atau manusia sendirilah yang menciptakan kemiskinan tersebut. Akan tetapi banyak dari kalangan kita yang sering menyalahkan tuhan, mengenai ketimpangan sosial di dunia ini. Sehingga tuhan dianggap tidak mampu menuntaskan kemiskinan. (Pixabay.com) Jika kita berfikir ulang mengenai kemiskinan yang terjadi dindunia ini. Apakah tuhan memang benar-benar menciptakan sebuah kemiskinan ataukah manusia sendirilah yang sebetulnya menciptakan kemiskinan tersebut. Alangkah lebih baiknya kita semestinya mengevaluasi diri tentang diri kita, apa yang kurang dan apa yang salah karena suatu akibat itu pasti ada sebabnya. Tentunya ada tiga faktor yang menyebabkan kemiskinan itu terjadi, yakni pertama faktor  mindset dan prilaku diri sendiri, dimana yang membuat seseorang...

Pendidikan yang Humanis

Seperti yang kita kenal pendidikan merupakan suatu lembaga atau forum agar manusia menjadi berilmu dan bermanfaat bagi masyarakat. Pendidikan merupakan tolak ukur sebuah kemajuan bangsa. Semakin baik sistem pendidikannya maka semakin baik pula negaranya, semakin buruk sistem pendidikannya semakin buruk pula negara tersebut. Ironisnya di negara ini, pendidikan menjadi sebuah beban bagi para murid. Terlalu banyaknya pelajaran, kurangnya pemerataan, kurangnya fasilitas, dan minimnya tenaga pengajar menjadi PR bagi negara ini. Saat ini pendidikan di negara kita hanyalah sebatas formalitas, yang penting dapat ijazah terus dapat kerja. Seakan-akan kita adalah robot yang di setting dan dibentuk menjadi pekerja pabrik. Selain itu, ilmu-ilmu yang kita pelajari hanya sebatas ilmu hapalan dan logika. Akhlak dan moral dianggap hal yang tebelakang. Memang ada pelajaran agama di sekolah namu hal tersebut tidaklah cukup. Nilai tinggi dianggap orang yang hebat. Persaingan antar sesama pelajar mencipta...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...