Langsung ke konten utama

Satu Dunia, Satu Nyawa



Hidup adalah satu-satunya hadiah yang tidak bisa diulang. Kita dilahirkan di dunia ini dengan satu nyawa yang bersinar, sebuah lilin yang menyala dengan nyala tak kekal. Begitu ia padam, kita tidak akan kembali, tidak ada isekai penuh keajaiban, tidak ada reinkarnasi untuk memperbaiki apa yang terlewat. Yang ada hanyalah sekali jalan, sebuah garis lurus yang kita tapaki tanpa peta.

Betapa sempitnya hidup ini, namun betapa luas pula maknanya. Di dunia yang hanya satu ini, di bawah langit yang sama, kita hidup bersama miliaran jiwa yang masing-masing membawa cerita. Satu nyawa, satu dunia, tapi berjuta arah. Tak peduli kau lahir sebagai anak raja atau seorang petani miskin yang membajak tanah kering, tak peduli apakah kau kaya raya atau papa tanpa nama, semuanya sama: satu nyawa untuk satu kehidupan.

Namun, apa yang kita lakukan dengan nyawa ini? Hidup, bagi sebagian, adalah sekadar bertahan; bagi yang lain, adalah berlari mengejar sesuatu yang tak pernah jelas. Dunia yang satu ini kadang begitu kejam, menawarkan pilihan-pilihan yang sulit, di mana kita hanya bisa memilih satu jalan dari sekian banyak kemungkinan. Ketika pilihan itu dibuat, tidak ada tombol "ulang," tidak ada kesempatan kedua. Pilihan itu terpatri dalam alur hidup kita, menjadi simpul yang menentukan arah ke mana nasib akan membawa kita.

Lalu, apa maknanya hidup ini jika kita hanya diberi satu kali kesempatan? Di sini, filsafat dan puisi bertemu, mencoba menjawab pertanyaan yang mungkin tidak memiliki jawaban pasti. Hidup adalah sebuah misteri, sebuah teka-teki yang tidak pernah selesai. Namun, barangkali justru itulah letak keindahannya. Jika hidup dapat diulang, apa yang membuat kita menghargainya? Jika kita bisa kembali lagi dan lagi, apakah kita akan merasakan pahit-manis perjuangan, apakah kita akan benar-benar memahami arti kehilangan atau kebahagiaan?

Hidup ini, meski satu, adalah panggung besar yang menawarkan kebebasan untuk memerankan siapa diri kita. Apakah kita akan menjadi pahlawan dalam cerita kita sendiri, ataukah kita hanya akan menjadi penonton, menyaksikan hidup berlalu tanpa pernah benar-benar merasakan napasnya?

Dan tentang nasib—apakah ia benar-benar tak tergoyahkan? Apakah takdir adalah raja yang mengatur segalanya, ataukah kita memiliki sedikit kendali atas benang-benang kehidupan yang terjalin? Barangkali kita tidak pernah tahu. Tapi, bahkan jika kita hanya memiliki satu nyawa, bukankah itu cukup untuk menciptakan sesuatu yang bermakna? Bukankah satu nyawa saja sudah cukup untuk mencintai, menderita, bermimpi, dan meninggalkan jejak kecil di dunia yang begitu besar ini?

Hidup yang hanya satu ini bukanlah sebuah batasan, tetapi sebuah tantangan. Dunia tidak memberikan keistimewaan kepada siapa pun, tapi ia memberi peluang bagi setiap orang untuk memilih bagaimana mereka ingin hidup. Tidak ada isekai, tidak ada kekuatan magis yang datang untuk mengubah takdir kita. Namun, ada sesuatu yang lebih kuat: keberanian untuk menjalani hidup ini dengan penuh makna, apa pun yang menghadang.

Maka, hiduplah. Hiduplah seolah-olah hari ini adalah kesempatan terakhir untuk mengukir kisah. Hiduplah dengan nyala lilin yang tidak takut padam, sebab bahkan ketika ia mati, ia telah memberikan terang bagi dunia yang satu ini. Satu dunia, satu nyawa. Itu cukup, lebih dari cukup, untuk membuat sebuah kisah yang layak dikenang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...