Muak. Ya, itulah kata yang paling tepat untuk menggambarkan perasaan saat mendengar ocehan soal dunia sosialis yang katanya aman, damai, dan penuh kebahagiaan. Sebuah utopia yang konon katanya bisa dicapai jika semua orang melepaskan sifat kapitalis mereka dan hidup dalam harmoni tanpa kelas. Namun, mari kita berhenti sejenak dan melihat kenyataan. Dunia ini, dengan segala keburukannya, tak jauh dari kepalsuan yang sama. Kapitalis? Sosialis? Komunis? Ah, semua itu terdengar seperti jargon kosong dari ratusan buku teori yang sudah berdebu di sudut perpustakaan.
Lihat saja para pencetus ideologi ini, yang dengan lantangnya berbicara soal keadilan sosial dan pemerataan kekayaan. Mereka bicara dengan penuh semangat, sembari menghisap rokok mahal, duduk di kursi empuk, atau mengetik manifesto revolusi di laptop berlogo apel yang menggigit. Ironi, bukan? Barang-barang kapitalis mengelilingi mereka seperti dekorasi panggung drama, namun mereka tetap mengutuk kapitalisme dengan lantang.
Sosialis katanya berbagi. Tapi lihatlah mereka yang katanya penganut sosialis sejati, buang sampah sembarangan seperti dunia ini adalah tempat sampah pribadi mereka. Mereka lupa bahwa berbagi itu juga soal tanggung jawab, termasuk kepada lingkungan. Jangan salah, buang sampah sembarangan juga bentuk “berbagi.” Ya, berbagi racun dengan bumi, berbagi masalah dengan generasi selanjutnya. Oh, betapa mulianya!
Lalu ada kapitalis, si serakah yang katanya cuma peduli pada keuntungan. Tapi tunggu dulu, bukankah sebagian dari kita yang mengutuk kapitalisme ini juga tak jauh berbeda? Setiap kali ada diskon besar-besaran di toko online, siapa yang pertama kali menyerbu? Kita. Siapa yang membeli barang murah tanpa peduli bahwa barang itu mungkin dibuat oleh buruh yang dibayar murah? Kita lagi. Jadi, siapa sebenarnya kapitalis itu? Apakah sistem? Ataukah nafsu konsumsi kita yang tak terpuaskan?
Dan komunis, si pahlawan pekerja. Mereka bilang semua harus adil dan setara. Tapi bagaimana dengan pesta-pesta rahasia yang hanya dihadiri oleh "elite partai"? Bagaimana dengan perut buncit mereka yang bersembunyi di balik slogan revolusi? Ah, ternyata setara itu hanyalah ilusi. Ada yang lebih setara dari yang lain, rupanya.
Di dunia yang katanya penuh ideologi ini, kita sering kali terjebak dalam idealisme palsu. Kita bicara soal perubahan dunia, tapi tak bisa merubah kebiasaan kecil seperti membuang puntung rokok di tempatnya. Kita bicara soal pemerataan kekayaan, tapi memesan makanan dengan layanan premium yang tarifnya bisa memberi makan keluarga lain selama seminggu.
Jadi, apa sebenarnya yang kita cari? Sistem yang sempurna? Dunia tanpa masalah? Atau mungkin hanya pembenaran untuk kegagalan kita menghadapi kenyataan?
Pada akhirnya, politik dan ideologi hanyalah permainan pikiran, seperti sandiwara yang dipentaskan untuk membuat kita merasa lebih pintar. Kita lupa bahwa kenyataan jauh lebih sederhana: perut yang lapar perlu diisi, dan bumi yang kotor perlu dibersihkan. Tidak peduli apa ideologimu, kalau semua itu tak terpenuhi, semua teori hanyalah omong kosong.
Mungkin, sebelum kita bicara soal dunia sosialis yang indah atau kapitalisme yang busuk, kita harus bertanya pada diri sendiri: apakah aku sudah melakukan hal paling sederhana untuk menjadi manusia yang lebih baik? Atau aku hanya bagian dari barisan panjang manusia yang sibuk mengutuk dunia sambil membakar dunia itu sendiri dengan nafsu konsumsi yang sama? Ah, biar sajalah. Yang penting, ada rokok di tangan dan teori revolusi di kepala. Sisanya? Ah, itu urusan generasi berikutnya.
Komentar
Posting Komentar