Langsung ke konten utama

Manusia atau Angka? Sebuah Komedi Statistik

 


Kita ini apa? Manusia dengan rasa dan jiwa, atau hanya sekumpulan angka dalam tabel statistik pemerintah? Di mata mereka, kita hanyalah deretan bilangan yang bisa dimanipulasi sesuka hati. "Kemiskinan turun!" katanya. Tapi, benarkah? Oh, tentu saja, kalau definisi miskin diubah menjadi "hanya yang tidak makan tiga hari berturut-turut," maka angka kemiskinan memang bisa ajaib lenyap. Hebat, bukan? Sihir angka yang lebih ampuh daripada mantra di dunia Harry Potter.

Sedari kecil, kita diajarkan bahwa angka adalah segalanya. Di sekolah, siapa yang nilainya paling tinggi dianggap paling pintar. Tidak peduli kalau dia cuma hafal rumus tanpa tahu cara menerapkannya dalam hidup. Begitu pula di pemerintahan. Mereka yang pandai mengutak-atik angka dianggap paling berhasil, meski kenyataannya di lapangan, realitas jauh berbeda.


Coba lihat ke sekeliling. Ada berapa banyak orang yang masih tidur di bawah jembatan, mengais sisa makanan di tempat sampah, atau berjalan pulang dengan perut kosong karena upah harian mereka habis untuk bayar utang? Tapi, hei, jangan khawatir. Statistik mengatakan angka kemiskinan kita turun drastis! Jadi, kalau kamu merasa lapar atau kesulitan membayar sekolah anak, mungkin itu cuma perasaanmu saja. Statistik bilang kamu sudah tidak miskin lagi.

Pemerintah memang jenius. Alih-alih benar-benar menyelesaikan masalah, mereka cukup memodifikasi definisi. Kalau sebelumnya seseorang dianggap miskin karena penghasilannya di bawah Rp500 ribu per bulan, sekarang batasnya diturunkan menjadi Rp400 ribu. Voila! Ratusan ribu orang langsung terangkat dari jurang kemiskinan dalam semalam. Mungkin kita harus berterima kasih pada mereka karena menciptakan "keajaiban" seperti ini.

Tapi mari kita jujur, angka-angka itu tidak bisa mengubah kenyataan. Tidak peduli seberapa canggih algoritma mereka, orang-orang tetap menderita. Seorang ibu yang harus memilih antara membeli beras atau membayar uang sekolah anaknya tidak peduli pada statistik. Seorang ayah yang bekerja 12 jam sehari dengan upah minimum tidak peduli pada presentasi power point yang menunjukkan "pertumbuhan ekonomi." Mereka hanya peduli apakah mereka bisa bertahan hidup.

Ironisnya, permainan angka ini tidak hanya terjadi di pemerintahan. Di dunia kerja pun, kita sering dinilai berdasarkan angka: target penjualan, produktivitas, atau KPI. Tidak peduli seberapa keras kita bekerja, kalau angkanya tidak sesuai, kita dianggap gagal. Dan entah bagaimana, angka-angka ini selalu bersekongkol untuk membuat kita merasa kurang, tidak cukup baik, atau bahkan tidak berarti.

Bukankah ini lucu? Kita adalah makhluk dengan emosi, harapan, dan mimpi, tapi dihitung seperti bilangan biner dalam komputer. Kita tidak dilihat sebagai manusia, tapi sebagai statistik yang harus diatur, diukur, dan, jika perlu, dimanipulasi.

Jadi, apa yang harus kita lakukan? Mungkin kita harus berhenti mempercayai sihir angka ini. Mari kita buka mata, lihat sekeliling, dan tanyakan pada diri sendiri: apakah realitas kita benar-benar seperti yang mereka katakan? Atau apakah kita hanya hidup dalam ilusi yang mereka ciptakan?

Angka tidak pernah bisa menceritakan keseluruhan cerita. Sebuah keluarga yang hidup dalam kesulitan tidak bisa diringkas menjadi satu garis di grafik. Seorang anak yang putus sekolah karena tidak mampu membeli seragam tidak bisa direduksi menjadi persentase. Kita ini manusia, bukan angka. Dan sampai mereka yang berkuasa menyadari hal ini, kita akan terus menjadi korban dari komedi statistik yang tidak pernah lucu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...