Lulus sekolah, lulus kuliah—dua pencapaian yang katanya membanggakan. Seragam putih abu-abu sudah berganti toga, rapor berganti ijazah, dan pelajaran menghitung luas segitiga berganti menjadi menghitung hari sampai tanggal gajian. Tapi tunggu sebentar, gajian? Dari mana? Bukankah bekerja saja belum tentu?
Semua orang berkata, "Sekolah yang rajin, biar sukses di masa depan." Tapi mengapa masa depan terasa seperti ruang tunggu yang tak kunjung ada panggilan masuk? Aku duduk di depan layar ponsel, menunggu notifikasi yang entah mengapa lebih sering berisi "Diskon Besar-Besaran" daripada "Selamat, Anda Diterima!" Jika notifikasi ponsel saja bisa mengecewakan, apalagi realitasnya.
Usaha sudah aku coba, dari membuat CV yang katanya harus kreatif sampai menghafal jawaban wawancara yang katanya akan membuat HRD terkesan. Tapi entah mengapa, hasilnya selalu nihil. Pekerjaan, yang dulu terlihat seperti pintu emas yang terbuka lebar di ujung pendidikan, kini lebih mirip lubang kunci yang terlalu kecil untuk dilewati.
Sementara itu, perut mulai lapar. Token listrik berbunyi seperti alarm yang mengejek, "Hei, bayar dulu kalau mau hidup nyaman!" Orang tua di rumah mulai mengeluh, bukan karena mereka tak percaya padaku, tapi karena mereka tahu waktu mereka tak banyak lagi. Adik-adikku masih sekolah, mereka membutuhkan seragam baru, buku pelajaran, dan makanan bergizi. Dan aku? Aku di sini, menatap layar ponsel, bertanya-tanya apakah besok aku masih bisa makan nasi atau harus puas dengan mie instan lagi.
Ironis, bukan? Katanya pendidikan adalah kunci keberhasilan, tapi mengapa pintu yang aku buka justru mengarah ke jurang ketidakpastian? Mereka yang tidak sempat merasakan bangku kuliah, meskipun hidup mereka keras, setidaknya punya sesuatu yang pasti: kerja keras yang membuahkan hasil, meski sedikit. Sementara aku, yang katanya lebih "berpendidikan," justru terjebak dalam ilusi masa depan cerah yang semakin kabur.
Aku pernah bermimpi besar—bekerja di perusahaan bergengsi, menghasilkan uang yang cukup untuk hidup layak, bahkan mungkin menikah dan membangun keluarga kecil yang bahagia. Tapi sekarang, mimpi itu hanya terasa seperti cerita dongeng. Realitasnya? Bahkan mendapatkan pekerjaan dengan gaji minimum saja seperti berburu harta karun.
Ada yang bilang, "Jangan menyerah, terus berjuang!" Tentu saja aku ingin berjuang, tapi bagaimana kalau kenyataan selalu memukul lebih keras daripada semangatku? Mendaftar pekerjaan seperti membeli lotre: peluang menang sangat kecil, tapi tetap saja aku mencoba, berharap ada keajaiban.
Dan jika aku berhenti sejenak untuk merenung, satu hal yang pasti terlintas di pikiranku: kepastian di dunia ini hanyalah kematian. Kekayaan? Itu hanya angan-angan yang sering dipajang di iklan media sosial. "Ingin hidup sukses? Ikuti seminar kami!" katanya. Tapi apakah seminar itu akan memberiku pekerjaan atau hanya menjual mimpi yang sudah retak?
Aku tahu aku tidak bisa diam saja, tidak bisa terus-terusan bergantung pada orang tua. Tapi kemana harus melangkah? Dunia ini tidak memberikan petunjuk, hanya tantangan demi tantangan tanpa solusi yang jelas.
Ironisnya, pendidikan yang seharusnya menjadi bekal untuk masa depan, kini terasa lebih seperti beban. Gelar sarjana hanya menjadi tulisan di selembar kertas, sementara aku harus mencari cara untuk membuatnya berarti di dunia nyata.
Mungkin, seperti banyak orang lainnya, aku harus menerima bahwa hidup ini memang penuh ketidakpastian. Mungkin juga, aku harus berhenti berharap terlalu banyak dan mulai bertahan dengan apa yang ada. Tapi apakah bertahan cukup? Aku tidak tahu. Yang aku tahu, aku harus bangkit esok hari, mencari peluang meskipun kecil, dan berharap bahwa suatu saat, semua ini akan berbuah manis. Atau setidaknya, tidak terlalu pahit.
Komentar
Posting Komentar