Pikiran manusia adalah medan yang rumit, penuh simpang siur antara yang nyata dan yang hanya ilusi. Kita sering kali terjebak dalam kebingungan, mempertanyakan mana yang benar-benar realitas dan mana yang hanyalah bayangan dari pikiran kita sendiri. Bahkan aku, dalam rutinitasku sehari-hari, kerap kali gagal memahami apa itu realitas sejati. Apakah realitas adalah semua yang terjadi di luar sana? Atau justru apa yang terjadi di dalam diriku, dalam kekacauan pikiranku sendiri?
Masalah pribadi sering kali mendominasi kesadaran kita, membuat realitas di luar diri kita menjadi kabur. Tetapi, apakah masalah pribadi itu sendiri bukan bagian dari realitas? Jika masalah itu adalah sesuatu yang nyata—sesuatu yang material, yang dapat dirasakan atau dilihat—maka tentu saja ia adalah bagian dari realitas. Namun, ada kalanya masalah itu hanyalah produk dari pikiran negatif: kecemasan yang berlebihan, rasa takut yang tidak berdasar, atau ilusi yang kita ciptakan sendiri.
Namun, realitas bukan hanya soal apa yang terlihat atau terasa; realitas adalah soal keterkaitan. Masalah pribadi kita sering kali muncul dari problem sosial yang lebih besar. Ketika kita merasa tertekan karena pekerjaan, misalnya, itu bukan hanya soal beban kerja yang berat. Di balik itu, ada sistem ekonomi yang menuntut efisiensi, ada atasan yang ditekan oleh target perusahaan, ada kebijakan yang memengaruhi distribusi kekayaan. Semua ini saling berkaitan, seperti jaring laba-laba yang rumit.
Ironisnya, kita sering kali tidak menyadari hubungan ini. Kita terlalu sibuk mengatasi masalah pribadi sehingga lupa bahwa ada konteks yang lebih besar. Kita mengeluhkan harga kebutuhan pokok yang naik, tetapi jarang bertanya mengapa itu terjadi. Kita merasa frustasi dengan jam kerja yang panjang, tetapi lupa melihat bahwa ini adalah hasil dari sistem kapitalis yang menjadikan manusia sebagai roda produksi.
Memahami realitas seperti ini memang tidak mudah. Bahkan ilmu pengetahuan, yang seharusnya menjadi alat untuk mengungkap kebenaran, sering kali tersandung oleh bias dan kepentingan. Penelitian bisa dimanipulasi, fakta bisa disembunyikan, dan data bisa dipilih-pilih untuk mendukung narasi tertentu. Realitas, pada akhirnya, sering kali ditutupi oleh kabut yang diciptakan oleh kekuasaan dan kepentingan.
Bicara soal realitas adalah bicara soal kebenaran, dan kebenaran itu sering kali tidak sederhana. Tidak ada satu pun realitas yang berdiri sendiri. Segala sesuatu saling terhubung. Bahkan seseorang yang hidup sendirian di tengah hutan tidak lepas dari realitas sosial. Ia masih membutuhkan makanan, yang mungkin ia dapatkan dengan berburu hewan yang habitatnya terganggu oleh perambahan hutan. Ia masih membutuhkan pakaian, yang mungkin ia buat dari serat tumbuhan yang semakin sulit ditemukan. Bahkan tidurnya pun tidak sepenuhnya bebas, karena ia harus terus waspada terhadap ancaman dari luar.
Realitas adalah jaringan yang kompleks, di mana setiap titik saling memengaruhi. Ketika kita gagal melihat keterkaitan ini, kita kehilangan kemampuan untuk benar-benar memahami apa yang terjadi. Dan ketika kita hanya fokus pada diri sendiri, kita kehilangan kesempatan untuk memperbaiki masalah yang lebih besar.
Mungkin inilah tantangan terbesar kita sebagai manusia: belajar untuk melihat realitas secara utuh, bukan hanya sebagai potongan-potongan kecil yang terpisah. Kita harus belajar untuk keluar dari kabut pikiran kita sendiri, untuk memahami bahwa setiap masalah pribadi kita adalah bagian dari masalah sosial yang lebih besar. Dengan begitu, kita tidak hanya menjadi saksi dari realitas, tetapi juga bagian dari solusi untuk mengubahnya.
Komentar
Posting Komentar