Langsung ke konten utama

Mimpi di Pinggir Jurang: Sebuah Ironi yang Tak Pernah Usai

 


Kita semua pernah bermimpi. Entah menjadi seorang astronot, presiden, atau sekadar memiliki rumah dengan taman kecil dan anjing yang setia menggonggong. Tapi apa yang terjadi saat kita membuka mata? Oh, bukan pemandangan indah dari mimpi tadi, melainkan jurang yang menganga di depan kita, menanti kita jatuh ke dalamnya. Itulah kenyataan—kejam, pahit, dan tak berbelas kasih.

Kita hidup di dunia di mana mimpi besar dijual seperti barang dagangan, dibungkus rapi dalam seminar motivasi dan buku-buku self-help yang menjanjikan surga dunia. "Berani bermimpi besar!" seru mereka, seolah-olah kita hanya perlu duduk dan membayangkan Lamborghini di garasi untuk benar-benar memilikinya. Padahal, kenyataan berbicara lain. Lamborghini itu hanya ada dalam garasi pikiranmu, sementara di dunia nyata, kamu masih sibuk menghitung kembalian dari tukang sayur.

Dulu, saat kita kecil, mimpi-mimpi hebat itu terasa nyata. Kita diajari bahwa jika bekerja keras, semua bisa tercapai. Namun, mereka lupa menambahkan catatan kecil: "Syarat dan ketentuan berlaku." Kamu butuh koneksi, uang, dan keberuntungan. Dan jika tidak punya semuanya? Ya, selamat tinggal mimpi, selamat datang realitas.

Motivasi, ah, kata itu sering dilontarkan bak mantera ajaib. "Kamu bisa, asalkan percaya!" katanya. Tapi, motivasi itu hanyalah sebuah stimulus sementara, seperti secangkir kopi yang memberi semangat di pagi hari tapi tidak mampu mengubah kenyataan bahwa kamu harus menghadapi pekerjaan yang membosankan. Tips menjadi kaya? Itu hanyalah daftar panjang yang lebih sering berakhir menjadi hiburan daripada solusi. Mereka berkata, "Lakukan ini, lakukan itu," tapi mereka lupa bahwa jalan hidup setiap orang berbeda.

Dinamika dunia ini memang luar biasa. Saat kita melangkah lebih jauh, kita menyadari bahwa pikiran kita selalu berubah, mencoba menyesuaikan diri dengan realitas yang terus menampar wajah kita. Hari ini, kamu mungkin bermimpi memiliki rumah. Esok, kamu hanya berharap bisa makan tiga kali sehari. Betapa lucunya dunia ini, di mana standar mimpi bisa merosot begitu drastis hanya karena perutmu keroncongan.

Namun, mari kita jujur pada diri sendiri. Apakah kita masih punya tekad untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu? Atau kita sudah lelah, menyerah, dan menerima bahwa mimpi hanyalah hiburan singkat dalam tidur kita? Mungkin jawabannya sederhana: kita tidak lagi bermimpi untuk hal-hal besar. Sekarang, kita bermimpi untuk hal-hal kecil—hal-hal yang sangat mendasar, seperti bisa makan hari ini, membayar listrik bulan ini, atau sekadar bertahan hidup hingga esok.

Ironis, bukan? Di masa kecil, kita bermimpi menjadi pahlawan. Kini, kita hanya berharap bisa menjadi "penjahat kecil" yang mencuri sedikit kebahagiaan di tengah realitas yang suram. Mimpi besar telah digantikan oleh kebutuhan sederhana.

Tapi, kawan, jangan putus asa. Selama kita masih berdiri di pinggir jurang ini, selama kita masih bisa menghirup udara dan merasakan pahitnya kopi murahan, kita masih punya harapan. Tidak, bukan harapan untuk melompat ke sisi lain jurang, tetapi harapan untuk sekadar duduk di tepi, menikmati pemandangan, dan berkata kepada dunia, "Aku masih di sini, belum jatuh sepenuhnya."

Dan mungkin, itu sudah cukup. Mimpi besar atau kecil, semua sama saja. Pada akhirnya, kita hanya ingin bertahan hidup.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...