Para pembenci realitas sering kali hidup dalam gelembung yang mereka ciptakan sendiri, mencoba melarikan diri dari apa yang nyata. Tapi ini bukan tentang mimpi-mimpi kecilmu yang kandas atau betapa sulitnya bertahan di tengah tekanan hidup. Ini tentang sesuatu yang lebih besar—kenyataan yang tak tersentuh oleh tangan-tangan para pemimpin yang seharusnya merangkulnya. Ironisnya, mereka yang diberi mandat untuk memperbaiki keadaan justru sibuk bermain imajinasi, seolah dunia ini adalah panggung drama pribadi mereka.
Dalam imajinasi mereka, negara ini adalah surga kecil di tengah dunia yang kacau. Bisnis berjalan lancar, roda ekonomi berputar tanpa hambatan, dan semua orang hidup bahagia. Mereka membayangkan diri mereka sebagai pahlawan bangsa, berpose anggun dalam rapat resmi atau sambil memotong pita proyek infrastruktur yang sebenarnya lebih banyak menguntungkan kolega mereka. Tetapi realitasnya? Ah, jauh lebih pahit daripada kopi hitam tanpa gula.
Mari kita buka tabir kenyataan ini. Pekerjaan semakin sulit ditemukan, biaya pendidikan semakin menanjak hingga terasa seperti sedang memanjat tebing tanpa tali pengaman, dan kebutuhan hidup menjadi beban yang menekan pundak rakyat kecil. Sementara itu, di atas sana, para pemimpin kita sibuk mengatur proyek-proyek "ambisius" yang lebih terlihat seperti permainan monopoli dengan dana rakyat sebagai taruhan.
Kamu mungkin bermimpi menjadi seorang dokter, profesi yang mulia, pekerjaan yang menyelamatkan nyawa. Namun, realitas yang menunggu di depan adalah biaya pendidikan yang membumbung tinggi. Mahalnya bukan main, seolah-olah ilmu pengetahuan itu adalah barang mewah yang hanya boleh dimiliki oleh segelintir orang kaya. Dan ketika akhirnya berhasil meraih gelar itu? Siapkan dirimu untuk menghadapi persaingan kerja yang tak kalah brutal. Semua ini terjadi bukan karena takdir yang kejam, tetapi karena sistem yang dirancang untuk mendukung mereka yang sudah berada di puncak, meninggalkan sisanya untuk bertarung demi remah-remah keberuntungan.
Tentu, para pemimpin kita akan berdalih. Mereka akan mengatakan, "Lihat, kami membangun jembatan baru! Kami meluncurkan program beasiswa!" Padahal jembatan itu mungkin lebih sering dipakai untuk foto ops ketimbang benar-benar menghubungkan daerah yang membutuhkan. Dan beasiswa? Ah, jumlahnya tak sebanding dengan kebutuhan, seolah-olah memberi tetesan air pada padang pasir yang luas.
Ini bukan soal kamu yang tidak cukup berusaha. Kamu mungkin sudah bekerja keras, bahkan lebih keras dari mereka yang duduk nyaman di kursi empuk ber-AC. Kamu mungkin sudah mencoba segala cara untuk menggapai cita-citamu, tapi realitasnya, kamu bermain dalam sistem yang dirancang bukan untuk mendukungmu, melainkan untuk menguji seberapa lama kamu bisa bertahan sebelum menyerah.
Mereka yang duduk di puncak piramida ini tak peduli. Mereka tidak peduli pada jumlah anak-anak yang putus sekolah karena tak mampu membayar SPP, atau pekerja yang kehilangan pekerjaan karena pabrik kecil kalah bersaing dengan perusahaan besar yang dibekingi oleh mereka. Mereka sibuk menciptakan narasi-narasi megah tentang pertumbuhan ekonomi dan kemajuan negara, padahal semua itu hanya kulit luar yang berkilau untuk menutupi isi dalam yang membusuk.
Jadi, jangan heran jika mimpi-mimpimu terasa semakin jauh dari genggaman. Bukan karena kamu bermimpi terlalu tinggi, tetapi karena mimpi-mimpimu direnggut oleh sistem yang lebih peduli pada angka-angka di laporan tahunan ketimbang wajah-wajah yang ada di balik statistik itu. Realitas ini bukan milikmu. Ini adalah realitas mereka, yang mereka reka untuk menjaga posisi mereka tetap aman, sementara kita, rakyat kecil, dibiarkan bertahan dengan apa yang tersisa.
Pada akhirnya, mimpi kita memang bukan fiktif. Tapi di tengah sistem yang membusuk ini, mereka menjadi lebih sulit diwujudkan daripada yang seharusnya. Dan itulah ironi terbesar dari semuanya.
Komentar
Posting Komentar