Langsung ke konten utama

Antara Stoikisme dan Realitas Sosial: Ketika Pengendalian Diri Tak Cukup



Stoikisme, sebuah filosofi yang mengajarkan kita untuk menerima hal-hal yang di luar kendali dan fokus pada apa yang dapat kita kendalikan, memang menawarkan pandangan hidup yang menenangkan. Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, ajaran ini menjadi oase bagi mereka yang merasa kewalahan menghadapi hidup. Kita tidak bisa mengendalikan cuaca, opini orang lain, atau peristiwa global yang jauh dari jangkauan kita. Namun, kita bisa mengendalikan respons, sikap, dan emosi kita terhadap semua itu. Prinsip ini terdengar masuk akal, bahkan bijak. Tetapi, seperti filosofi lainnya, stoikisme juga memiliki batasnya, terutama ketika diterapkan dalam konteks masalah sosial yang melibatkan lebih dari sekadar individu.

Bayangkan kita menghadapi krisis iklim, sebuah masalah global yang nyata dan mendesak. Stoikisme mungkin akan menyarankan kita untuk tidak terlalu tertekan oleh kenyataan bahwa suhu bumi meningkat, es di kutub mencair, dan spesies punah setiap hari. Toh, itu semua di luar kendali individu kita, bukan? Tetapi, krisis iklim bukanlah fenomena alam yang terjadi begitu saja tanpa campur tangan manusia. Krisis ini adalah akibat dari perilaku manusia—kerakusan korporasi, konsumerisme berlebihan, dan kebijakan yang mengabaikan kelestarian lingkungan. Jika kita memilih diam, hanya berfokus pada "mengendalikan diri" sementara membiarkan kerusakan terus berlangsung, bukankah itu berarti kita menyerahkan masa depan kita dan generasi mendatang pada kehancuran?

Hal yang sama berlaku untuk isu-isu sosial lainnya seperti kemiskinan, ketidakadilan, dan kejahatan. Misalnya, tindak kriminal mungkin tidak dapat kita kendalikan secara langsung sebagai individu. Tetapi, apakah kita akan hanya menerima kejahatan sebagai bagian dari dunia ini? Jika ya, maka kita mengabaikan akar masalah seperti ketimpangan ekonomi, pendidikan yang tidak merata, atau kurangnya akses pada kebutuhan dasar yang layak. Stoikisme, dalam konteks ini, terasa tidak cukup karena cenderung pasif terhadap perbaikan sistemik.

Bukan Hanya Tentang Diri Sendiri

Manusia adalah makhluk sosial. Kehidupan kita tidak hanya dipengaruhi oleh keputusan pribadi, tetapi juga oleh keputusan orang lain dan struktur sosial yang kita tinggali. Stoikisme sering menekankan pengendalian diri sebagai kunci kebahagiaan, tetapi hidup dalam masyarakat tidak hanya tentang diri sendiri. Kita adalah bagian dari jaringan yang saling terhubung. Ketika satu bagian menderita, seluruh sistem terganggu. Seorang individu yang mengendalikan dirinya untuk tetap tenang dalam ketidakadilan tidak akan menghapus ketidakadilan itu. Perubahan sosial tidak terjadi melalui ketenangan pasif, tetapi melalui aksi kolektif.

Pengendalian Diri dan Pengendalian Sosial

Namun, ini bukan berarti kita harus meninggalkan stoikisme sepenuhnya. Filosofi ini tetap relevan ketika berbicara tentang mengelola emosi dan reaksi kita. Pengendalian diri adalah fondasi yang kuat untuk bertindak secara rasional dan strategis. Tetapi, stoikisme harus melampaui batasan individu dan bertransformasi menjadi pengendalian sosial. Mereka yang mampu mengendalikan diri harus menjadi penggerak perubahan. Pengendalian sosial ini membutuhkan kesadaran akan keterhubungan kita dengan orang lain dan lingkungan. Tidak cukup hanya "menerima" bahwa dunia ini penuh masalah, kita juga harus bertanya: apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaikinya?

Misalnya, dalam konteks krisis iklim, kita mungkin tidak bisa menghentikan emisi karbon global seorang diri. Tetapi kita bisa mengurangi jejak karbon pribadi kita, mendukung kebijakan ramah lingkungan, atau bahkan memprotes perusahaan yang merusak alam. Ini bukan sekadar pengendalian diri; ini adalah upaya untuk mengendalikan arah masyarakat menuju masa depan yang lebih baik.

Kesimpulan: Bergerak Melampaui Stoikisme

Stoikisme memberikan kita kekuatan untuk bertahan dalam menghadapi kenyataan pahit. Namun, dalam dunia yang penuh masalah sosial, hanya mengendalikan diri saja tidak cukup. Kita perlu melangkah lebih jauh, mengubah filosofi menjadi aksi nyata. Tidak ada yang salah dengan mengakui bahwa ada hal-hal di luar kendali kita. Tetapi, kita juga harus menyadari bahwa banyak hal yang tampaknya di luar kendali sebenarnya dapat kita ubah jika kita mau bertindak bersama.

Jadi, berhenti berkata, "Ini di luar kendali saya." Mulailah berkata, "Apa yang bisa saya lakukan, bahkan sekecil apa pun, untuk membawa perubahan?" Karena dunia yang lebih baik tidak tercipta hanya dengan refleksi dalam diam, tetapi dengan tindakan nyata yang didasari oleh kesadaran akan tanggung jawab kita sebagai makhluk sosial.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Struktural Keorganisasian Kampus

(Dokumen Pribadi) Jika kamu adalah anak kuliah tentu pasti sudah tahu apa itu organisasi kampus. Mungkin ada sedikit perbedaan antara organisasi kampus dengan organisasi lainnya. Jelasnya organisasi kampus tentunya diisi oleh mahasiswa dan tentunya pola pikir keorganisasian dan tujaunnya berbeda dengan organisasi diluar kampus. Organisasi kampus sendiri terdiri dari dua macam, ada organisasi intra kampus kampus dan organisasi ekstra kampus. Organisasi kampus ini seberulnya hampir mirip dengan sistem kenegaraan kita seperti eksekutif, legislatif dan partai politik. Organisasi kampus ini, bisa disebut juga sebagai miniatur negara, untuk lebih jelasnya saya akan jelaskan dibawah ini:  Organisasi Intra Kampus Definisi organisasi intra kampus sendiri ada di dalam aturan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 155/U/1998 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi (PUOK). Secara singkatnya organisasi intra kampus ini berada di bawah naungan kampus. Orga...

Antara Alam Pikiran dan Alam Realitas

Pernahkan kamu berfikir? Ya tentunya semua orang di dunia ini melakukan segala aktifitas dengan berfikir kecuali pada saat tidur dan pingsan. Hal yang unik dari manusia adalah manusia berbeda dengan fikirannya hewan. Hewan hanya berfikir berdasarkan insting naluri berfikirnya jika ada hewa-hewan cerdas seperti lumba-lumba dan  simpanse, mereka tentunya harus dilati terlebih dahulu. Tanpa dilatih mereka hanya hewan biasa walaupun di katakan hewan cerdas pun pemikiran mereka tetap saja tidak bisa berkembang. (Pixlab.com) Manusia tentunya memiliki kelebihan dibandingkan dengan hewan lain yakni pikiran, dengan pikiran manusia bisa melakukan hal yang sulit menjadi mudah, membuat hal yang kreatif dan inovatif, berimajinasi, berlogika, mempelajari hal baru dan masih banyak yang lainnya. Sejauh ini peradaban diciptakan oleh manusia dari masa-masa, manusia mempelajari hal baru dan ilmi-ilmu baru. Berbicara tentang pemikiram ini tentunya adalah hal yang unik, karena setiap orang memiliki tin...

Buat Apa Kita Belajar

Pertanyaan ini sebetulnya adalah pertanyaan yang kurang kerjaan, tetapi memang perlu kita pikirkan bersama. Memang sudah jelas tujuan belajar adalah menjadi orang yang pintar. Tetapi menurut saya itu bukan jawaban yang tepat. mengapa itu bukan jawaban yang tepat, karena kita harus lihat dulu tujuan dari belajar itu sendiri. Jujur saya orang yang senang belajar tetapi saya kurang suka pelajaran di sekolah, karena orientasinya hanya sekedar nilai. Mungkin ini tidak sesuai dengan stigma masyarakat. (Pixabay.com) Kita tentunya harus mengubah tujuan dari belajar. Jika kita belajar rajin mengerjakan PR, rangking satu, ujian selalu baik tentunya itu adalah anak yang pintar. Padahal itu bukan orang yang pintar, tetapi dia hanya ingin dipandang baik masyarakat (sekolah) makanya harus rajin agar dipuji oleh banyak orang. Jika kamu merasa puas ketika dipuji karena rangking satu tentunya sangat puas. Tetapi puasnya hanya cukup disitu saja. Setelah ia puas maka ya sudah pelajaran yang telah lalu di...