Langsung ke konten utama

Kepercayaan yang Diperjualbelikan: Bisnis Tak Kasat Mata

 

Ah, kepercayaan kepada Tuhan. Sebuah nilai luhur yang seharusnya menjadi pegangan hidup, kini berubah menjadi komoditas yang dijual dengan harga yang bahkan pasar saham pun tak bisa menandinginya. Jangan salah, ini bukan fenomena baru. Sedari dulu, kepercayaan sudah menjadi ladang bisnis paling menggiurkan. Tapi kini, di era modern yang penuh dengan kemasan mewah dan retorika manis, bisnis ini telah mencapai tingkat profesionalisme yang luar biasa.

Bayangkan ini: seseorang berdiri di podium, menyampaikan khotbah dengan penuh semangat. Kata-katanya manis, penuh janji surgawi, dan dilengkapi dengan ancaman halus tentang neraka bagi mereka yang tidak patuh. Ia mengajak kita berbagi, menyumbang, dan berkontribusi untuk "kepentingan agama." Tapi mari kita bertanya dengan kritis: berbagi untuk siapa? Untuk yang miskin dan lapar, atau untuk membiayai liburan eksklusif sang pemuka agama?

Sungguh, seni persuasi mereka luar biasa. Hanya dengan kata-kata, mereka mampu membuat seseorang yang bahkan kesulitan membayar tagihan listrik merasa bersalah jika tidak menyumbang. Seolah-olah, tiket ke surga dijual dalam bentuk donasi yang harus diserahkan secara tunai atau transfer bank. Jangan lupa, "untuk kepentingan agama," katanya. Tapi jika kita melihat lebih dekat, "kepentingan agama" sering kali hanyalah nama lain untuk "kepentingan pribadi."

Dan oh, jangan coba-coba mempertanyakan sistem ini. Jika ada yang berani menantang atau bahkan sekadar bertanya, label "sesat" atau "melawan Tuhan" siap dilontarkan. Ini bukan soal iman atau kebenaran, melainkan soal kekuasaan. Mereka yang duduk nyaman di puncak hierarki keagamaan tidak ingin kekuasaannya terganggu. Ini bukan sekadar perbedaan pandangan; ini ketakutan bahwa bisnis mereka akan hancur jika terlalu banyak orang yang mulai berpikir kritis.

Bukankah ini mirip dengan seorang pebisnis yang takut produknya terbongkar? Produk itu mungkin diklaim sebagai "yang terbaik," tapi di balik kemasannya ada banyak kebohongan. Begitu kebohongan itu terungkap, konsumen akan kabur, dan bisnis akan merugi. Maka, apa yang dilakukan? Menyerang pesaing, menyebarkan propaganda, atau bahkan menggunakan taktik kotor untuk menyingkirkan ancaman.

Namun, mari kita bicara tentang ironi terbesar dari semua ini. Di saat mereka mempromosikan nilai-nilai seperti kesederhanaan, kerendahan hati, dan berbagi, mereka sendiri hidup dalam kemewahan. Rumah besar, mobil mewah, bahkan mungkin jet pribadi—semua ini dibiayai oleh sumbangan dari orang-orang yang hanya ingin mendekatkan diri kepada Tuhan. Di sini, kepercayaan kepada Tuhan bukan lagi soal spiritualitas, melainkan soal strategi pemasaran.

Tentu saja, kita tidak sedang menyalahkan mereka yang tulus berbagi. Berbagi adalah tindakan mulia, selama itu dilakukan dengan niat yang benar dan kepada orang yang benar-benar membutuhkan. Tapi masalahnya, banyak yang tidak tahu ke mana sumbangan mereka sebenarnya pergi. Dan ketika ada yang mulai bertanya, jawabannya sering kali tidak memuaskan atau bahkan penuh dengan ancaman terselubung.

Mungkin, inilah saatnya kita semua mulai berpikir lebih kritis. Tuhan tidak butuh uang kita; orang miskin yang kelaparan, merekalah yang butuh. Jadi, lain kali jika ada yang meminta sumbangan "atas nama agama," tanyakan dengan tegas: untuk siapa sebenarnya uang ini? Jika jawabannya tidak jelas, mungkin lebih baik kita langsung pergi ke pasar, membeli makanan, dan memberikannya kepada mereka yang benar-benar membutuhkan.

Pada akhirnya, kepercayaan seharusnya menjadi sesuatu yang murni dan pribadi, bukan komoditas yang diperjualbelikan. Tapi selama kita masih terus terbuai oleh kata-kata manis dan janji kosong, bisnis ini akan terus berkembang. Jadi, siapa yang salah? Mereka yang memanfaatkan kepercayaan, atau kita yang dengan mudahnya mempercayai mereka?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...