Peluang hidup itu, katanya, ada untuk semua orang. Si miskin maupun si kaya, katanya, sama-sama diberi kesempatan oleh Tuhan. Ah, betapa indahnya retorika itu terdengar, seperti dongeng lama yang didendangkan ibu sebelum tidur. Tetapi di dunia nyata, di bawah langit yang sama ini, kita tahu ada dua dunia yang hidup berdampingan namun tak pernah benar-benar bersinggungan. Dunia si kaya dan dunia si miskin—dua dunia yang berbeda sejauh langit dan bumi, bahkan terkadang lebih jauh lagi.
Di satu sisi, ada si kaya yang hidup dalam pilihan-pilihan yang luas, seperti taman bermain raksasa yang penuh wahana. Hari ini kuliah ke Harvard, besok pelesir ke Swiss, lusa membeli rumah di Bali. Hidup mereka seolah papan permainan dengan ribuan jalan bercabang, semuanya menjanjikan sesuatu yang indah. Mau jadi dokter? Bisa. Mau jadi seniman? Silakan. Bahkan jika tidak mau jadi apa-apa pun, mereka tetap punya jalan pulang—warisan.
Lalu, di sisi lain, ada si miskin. Dunia mereka bukan taman bermain, melainkan labirin gelap tanpa pintu keluar. Pilihannya sederhana, dan ironisnya, tragis: bekerja atau mati kelaparan. Mau makan hari ini atau bayar utang? Mau beli beras atau obat untuk anak yang demam? Tak ada Harvard, tak ada Swiss, tak ada Bali. Bahkan bermimpi pun terasa mewah.
Maka, kita bertanya-tanya, apakah rezeki memang sudah diatur sekejam ini? Apakah Tuhan, yang katanya Maha Adil, benar-benar mengatur hidup dengan kalkulator aneh yang memberikan kekayaan melimpah kepada satu pihak dan kemelaratan abadi kepada pihak lain?
Ah, tapi tunggu dulu. Mereka bilang, si kaya belum tentu bahagia, dan si miskin belum tentu sengsara. Katanya, uang tak bisa membeli segalanya. Betul, uang memang tak bisa membeli segalanya. Tapi uang bisa membeli rumah mewah, pendidikan terbaik, akses kesehatan, dan makanan bergizi. Jadi, kalau uang tak bisa membeli kebahagiaan, setidaknya ia bisa membeli kesempatan untuk mencarinya.
Sementara itu, si miskin? Mereka sering kali diberi nasihat indah seperti, “Bersyukurlah,” atau “Kekayaan sejati ada di hati.” Betapa menghibur, bukan? Si kaya berwisata ke luar negeri, si miskin hanya berwisata dalam doa. Si kaya memesan steak wagyu, si miskin memesan sabar. Seolah-olah kemiskinan adalah berkah yang perlu dirayakan.
Tapi mari kita berpikir lebih dalam. Bagaimana jika roda berputar? Bagaimana jika si kaya menjadi miskin, dan si miskin menjadi kaya? Dunia akan terlihat lebih adil, bukan? Si kaya akhirnya akan merasakan bagaimana sulitnya hidup tanpa pilihan, sementara si miskin bisa merasakan bagaimana rasanya memegang kendali atas hidup mereka. Tetapi, bisakah kita benar-benar memutar balik takdir?
Faktanya, dunia tidak sesederhana itu. Si kaya tetap kaya karena mereka dilindungi oleh sistem yang menguntungkan mereka. Mereka memiliki akses, jaringan, dan sumber daya untuk memastikan mereka tetap berada di atas. Sementara itu, si miskin, meskipun bekerja keras sampai peluh terakhir, sering kali terperangkap dalam sistem yang membuat mereka tetap di bawah.
Ini bukan semata-mata soal individu, tetapi soal sistem sosial yang menciptakan ketimpangan. Kapitalisme, dengan wajah ramahnya, berbicara tentang kesempatan yang sama. Tetapi di balik senyum itu, ia menyembunyikan kenyataan pahit: si kaya dan si miskin tidak pernah benar-benar memulai di garis yang sama. Si kaya memulai perlombaan dengan mobil sport, sementara si miskin berlari tanpa alas kaki di jalan berbatu.
Lalu, di mana Tuhan dalam semua ini? Apakah Ia ingin dunia tetap seperti ini? Atau apakah ini ujian bagi kita semua? Mungkin Tuhan ingin kita berpikir dan bertindak, bukan hanya menerima nasib begitu saja. Mungkin keadilan sejati bukan terletak pada membalikkan roda, tetapi pada menciptakan sistem di mana roda itu bisa berputar dengan adil untuk semua orang.
Tapi sampai saat itu tiba, dunia tetap akan menjadi dua wajah: si kaya yang melangkah dengan angkuh di atas karpet merah, dan si miskin yang terperosok dalam lumpur. Ironis, memang. Tapi begitulah adanya. Dunia ini tak adil, dan mungkin memang tak pernah dirancang untuk itu.
Komentar
Posting Komentar