Hidup di tengah orang-orang bodoh kadang membuatku merasa menjadi dewa kecil. Bayangkan saja, aku yang biasa-biasa saja, tiba-tiba terlihat seperti seorang filsuf agung di mata mereka. Kata-kataku yang sebenarnya biasa pun dianggap mutiara bijak, padahal aku sering asal bicara. Aku merasa seperti bintang di tengah kegelapan, meski tahu bahwa kegelapan itu bukan karena aku bersinar, melainkan karena mereka enggan menyalakan lampu.
Mereka malas membaca, itu yang paling sering kulihat. Buku? Ah, terlalu berat, katanya. Lebih baik menonton video pendek berisi kata-kata mutiara yang sering kali asal comot tanpa konteks. "Hidup ini seperti roda, kadang di atas, kadang di bawah," begitu katanya, seolah-olah itu adalah pencerahan. Padahal, mereka hanya mengulang-ulang apa yang mereka dengar, tanpa benar-benar memahami artinya. Aku jadi geli sendiri. Aku bisa menipu mereka dengan mudah, memainkan emosi mereka hanya dengan kata-kata manis yang sebenarnya kosong.
Tapi, jangan salah sangka. Hidup di tengah orang bodoh bukan hanya tentang keuntungan. Kadang mereka juga merepotkan. Ide-ide sederhana yang aku lontarkan sering kali harus kujelaskan berulang kali, sampai-sampai aku merasa seperti seorang guru yang terjebak di kelas remedial. Kreativitas? Jangan harap. Pikiran kritis? Ah, itu terlalu jauh dari jangkauan mereka. Mereka hanya tahu apa yang ada di depan mata, apa yang terlihat mudah, apa yang langsung bisa dimakan atau dipakai.
Satu-satunya cara menggerakkan mereka adalah dengan memberikan validasi. "Kamu hebat," kataku, dan mereka langsung bersemangat, seolah-olah itu adalah kunci ajaib yang menghidupkan mesin mati. Atau, kalau validasi verbal tak cukup, aku tinggal menyodorkan roti dan susu. Percayalah, tidak ada yang lebih efektif daripada memberikan sesuatu yang langsung bisa dirasakan. Orang bodoh mudah puas dengan hal-hal kecil seperti itu.
Namun, di balik semua itu, aku sadar ada ironi besar. Mereka yang bodoh ini, yang malas berpikir, justru membuatku merasa seperti aku orang paling pintar di dunia. Padahal, mungkin aku juga bodoh, hanya saja di tingkat yang berbeda. Apakah aku benar-benar pintar, ataukah aku hanya sedikit lebih beruntung dalam memahami dunia yang absurd ini?
Dan kadang, aku pun bertanya-tanya: Apakah sebenarnya aku lebih baik daripada mereka? Aku mungkin bisa memanfaatkan mereka, tapi apakah itu membuatku menjadi orang yang lebih bermoral? Aku mungkin bisa memanipulasi emosi mereka, tapi apakah itu membuatku bahagia?
Ironisnya, meski aku mengeluhkan kebodohan mereka, aku pun bergantung pada mereka. Mereka yang memujiku, mereka yang memvalidasi keberadaanku, mereka yang membuatku merasa lebih penting daripada aku sebenarnya. Mungkin aku sama bodohnya, hanya dalam bentuk yang berbeda.
Hidup di tengah orang-orang bodoh memang penuh warna. Kadang aku merasa menjadi raja, kadang aku merasa menjadi pengasuh anak-anak yang terus menerus harus diajari cara berjalan. Tapi, pada akhirnya, apakah aku benar-benar lebih baik? Atau aku hanya bagian lain dari kebodohan yang sama, yang kebetulan diberi panggung lebih besar? Itulah yang membuatku bertanya-tanya setiap kali aku tertawa melihat kebodohan mereka—siapa sebenarnya yang sedang ditertawakan?
Komentar
Posting Komentar