Tuhan memberiku akal, katanya untuk memahami dunia. Tapi sungguh, semakin aku mencoba mengerti, semakin absurd rasanya hidup ini. Ada begitu banyak hal yang melampaui nalar, melampaui logika yang katanya merupakan keunggulan manusia dibanding makhluk lainnya. Dunia ini, dengan segala kompleksitasnya, terasa seperti labirin tanpa ujung. Aku terus berjalan, mencari jalan keluar, tapi yang kutemukan hanyalah dinding-dinding baru yang tak bisa kutembus.
Petunjuk Tuhan, katanya ada di mana-mana. Tapi bukankah petunjuk itu terlalu samar? Bahkan seorang detektif dengan kemampuan analisis paling canggih sekalipun mungkin akan menyerah membaca teka-teki ini. Semua terlihat seperti teka-teki silang tanpa petunjuk, atau mungkin petunjuk itu ada, tapi terlalu kabur untuk ditangkap. Aku bertanya-tanya, apa sebenarnya maksud Tuhan? Mengapa Dia menciptakan dunia yang tampak seperti permainan yang terlalu rumit untuk dimainkan?
Aku mencoba merancang hidupku. Satu tahun ke depan, lima tahun ke depan, sepuluh tahun ke depan—semuanya tertulis rapi dalam daftar panjang di buku catatanku. Ada ratusan rencana, mungkin ribuan. Aku berencana dengan detail, menghitung risiko, memetakan peluang. Tapi kenyataannya, dari ratusan hal yang kutulis, hanya segelintir yang bisa tercapai. Sisanya? Entah lenyap begitu saja, atau tertunda oleh sesuatu yang tak pernah kuperkirakan.
Dunia ini seperti memiliki algoritma yang tak bisa kubaca. Aku, dengan segala upaya berpikirku, ternyata hanya bagian kecil dari permainan besar yang tidak kuketahui aturannya. Akalku yang katanya diberkahi ini ternyata tak cukup untuk mengurai semua ini. Bukankah itu ironis? Aku diberikan kemampuan berpikir, tapi dihadapkan pada realitas yang tak bisa dipikirkan.
Dan aku mulai bertanya, apa gunanya berpikir? Apa gunanya aku merancang masa depan, memecahkan masalah, atau mencoba memahami sesuatu, jika pada akhirnya ada begitu banyak hal yang di luar kendaliku? Bahkan rencana paling matang pun bisa hancur oleh satu kejadian kecil yang tak terduga. Satu tikungan kecil di jalan, satu keputusan orang lain, atau satu peristiwa acak bisa mengubah segalanya.
Kadang aku merasa seperti boneka yang diombang-ambingkan oleh kekuatan yang lebih besar. Akal yang kupikir adalah keistimewaanku, ternyata hanyalah alat yang sering kali tidak berguna. Aku berpikir, merencanakan, berharap, hanya untuk dihadapkan pada kenyataan bahwa dunia ini tidak peduli pada rencanaku.
Tapi anehnya, aku tidak bisa berhenti berpikir. Meskipun sering kali menyerah, meskipun tahu banyak hal tak terduga akan terus datang, aku tetap saja mencoba. Mungkin karena itu sifat dasar manusia: terus mencari arti di tengah ketidakpastian. Mencoba memahami, meskipun tahu hasil akhirnya mungkin hanyalah kebingungan yang lebih besar.
Jadi, meskipun dunia ini terasa absurd, meskipun petunjuk Tuhan terlalu sulit untuk kumengerti, aku tetap melangkah. Tidak tahu ke mana, tidak tahu untuk apa. Tapi mungkin, justru dalam kebingungan itulah hidup menemukan maknanya. Tidak dalam kepastian, tidak dalam jawaban, tapi dalam perjalanan untuk terus mencari. Akalku mungkin tidak bisa mengalahkan absurditas dunia, tapi ia juga tidak bisa diam. Mungkin itu adalah ironi terbesar dari keberadaan manusia.
Komentar
Posting Komentar