Langsung ke konten utama

Bukan Perintis, Bukan Pewaris: Ironi Hidup di Zaman Serba Sulit




Aku ini bukan perintis, apalagi pewaris. Sebuah kenyataan yang membuat hidup di zaman sekarang terasa seperti berjalan di atas duri. Tidak ada warisan tanah, rumah, atau bahkan sepotong warung kecil yang bisa aku jadikan tumpuan hidup. Warisan hanyalah sebuah dongeng yang didengungkan di masa kecil, sementara kenyataan memaksaku untuk menjadi perintis. Tapi menjadi perintis? Ah, itu lebih mudah diucapkan daripada dilakukan.

Zaman sekarang, untuk menjadi perintis, semuanya butuh modal. Bahkan modal untuk sekadar berharap. Ingin membuka usaha kecil-kecilan? Siapkan uang sewa tempat, pajak yang mencekik, biaya operasional, dan persaingan yang tak pernah tidur. Dan jangan lupakan kecurangan. Dunia ini penuh dengan pendusta yang justru menjadi juara, sementara orang jujur seperti aku hanya bisa menjadi penonton di pinggir arena. Tapi lucunya, ketika aku mencoba berpikir untuk bermain curang, aku sadar bahwa menjadi buruk tidak membuat keadaan lebih baik. Justru semakin sulit, karena aku tidak punya bakat untuk menjadi penipu ulung.

Mencari pekerjaan pun tidak kalah ironis. Usia terlalu muda? Ah, rupanya yang butuh makan hanya mereka yang sudah berumur. Tapi tunggu, ketika usia bertambah, alasan berubah menjadi "terlalu tua." Jadi, kapan sebenarnya waktu yang tepat untuk hidup layak? Belum lagi soal penampilan. Wajah yang tidak masuk kategori menarik tampaknya otomatis mengurangi peluang, seolah-olah yang jelek tidak butuh makan. Lalu, ijazah yang dulu dielu-elukan sebagai tiket masa depan kini hanya menjadi selembar kertas tak berharga. Apakah ini lelucon zaman modern?

Dunia kerja saat ini seperti sebuah panggung sandiwara. Yang dipilih bukan yang punya kemampuan, tetapi yang memenuhi kriteria yang sering kali tidak masuk akal. "Penampilan menarik," "usia maksimal 25 tahun," atau "pengalaman minimal lima tahun" menjadi mantra yang berulang-ulang, membuatku bertanya-tanya: apakah semua ini hanya untuk membangun harapan palsu? Atau memang dunia tidak pernah berniat memberiku tempat?

Imajinasi masa kecilku, yang dulu begitu penuh warna, kini memudar menjadi abu-abu. Dulu, aku membayangkan menjadi seseorang yang penting, yang sukses, yang bisa membangun sesuatu dengan tangan sendiri. Tapi zaman ini tidak ramah pada mimpi. Ia memaksa kita untuk mengubur imajinasi dan menghadapi kenyataan bahwa dunia ini adalah medan perang yang kejam. Mereka yang tidak punya modal, kekuasaan, atau keberuntungan tidak akan pernah mendapat tempat.

Kadang aku ingin tertawa, tapi lebih sering ingin menangis. Hidup di zaman sekarang adalah tentang pilihan-pilihan sulit yang semuanya terasa salah. Ingin menjadi baik, tapi yang menang justru yang buruk. Ingin menjadi buruk, tapi aku tahu itu hanya akan membuatku semakin terpuruk. Akhirnya, aku hanya diam, terjebak dalam dilema yang tak berujung, mencoba bertahan di tengah absurditas ini.

Jadi, apakah hidup ini benar-benar soal menjadi perintis atau pewaris? Mungkin tidak. Mungkin hidup ini hanyalah sebuah permainan tanpa aturan jelas, di mana hanya mereka yang beruntung atau licik yang bisa bertahan. Sedangkan aku? Aku hanyalah penonton di pinggir lapangan, mencoba memahami ironi hidup yang seolah-olah diciptakan untuk mengejekku setiap hari. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...