Ah, isekai lagi. Dunia lain lagi. Pria biasa dari dunia nyata yang mendadak menjadi pahlawan luar biasa, dikelilingi oleh perempuan cantik dari berbagai ras—elf, demon, manusia, bahkan slime berbentuk wanita. Plotnya? Oh, mari kita tebak. Dia akan mendapatkan kekuatan yang terlalu besar, seperti bisa menghancurkan raja iblis hanya dengan batuk. Dan tentu saja, dia akan punya harem yang setiap anggotanya berlomba-lomba untuk memperebutkan perhatian si pahlawan yang, entah kenapa, hampir selalu seorang pria remaja kikuk tapi "istimewa."
Semua ini terasa seperti makan mie instan setiap hari. Awalnya, ada rasa nikmat—gurih, cepat, dan memuaskan dalam waktu singkat. Tapi setelah mangkuk kesepuluh? Mual. Sayangnya, tetap dimakan. Kenapa? Karena kita terlalu malas mencari menu lain.
Penulis anime isekai sepertinya sangat memahami kebosanan kita yang sudah mengakar. Mereka tahu kita akan tetap menonton. Mereka tahu, meski kita mengeluh tentang betapa klisenya cerita mereka, kita akan tetap duduk di depan layar, menghabiskan waktu berjam-jam menyaksikan karakter utama tanpa usaha nyata membangun kerajaan, memenangkan hati para heroine, dan—tentu saja—mengalahkan raja iblis.
Apa yang mereka tawarkan? Fantasi kosong yang tidak berbeda jauh dari fanservice murah. Semua ini dibuat untuk memanjakan pikiran dangkal yang terlalu malas berpikir. Tidak ada kritik sosial, tidak ada filosofi mendalam, bahkan perjuangan karakter utama sering kali terasa seperti formalitas. Oh, tentu saja, ada drama kecil di sana-sini, tapi kita semua tahu hasil akhirnya. Semua masalah diselesaikan dengan deus ex machina: sebuah kekuatan super yang datang tanpa alasan logis atau perencanaan matang.
Dan mari kita bahas sedikit tentang harem. Kenapa selalu harem? Apakah penulis anime isekai percaya bahwa daya tarik utama cerita mereka terletak pada perempuan-perempuan yang secara ajaib jatuh cinta kepada pria yang, jujur saja, tidak lebih dari self-insert pembuat cerita? Perempuan-perempuan ini sering kali tidak lebih dari klise berjalan: si tsundere, si gadis lugu, si karakter misterius yang diam-diam peduli. Apakah ini penggambaran cinta atau sekadar alat untuk menarik penonton pria yang merasa kurang dihargai di dunia nyata?
Namun, ironisnya, meskipun kita tahu semua ini, kita tetap menonton. Kita tetap menunggu episode baru, tetap membicarakan teori-teori tentang siapa yang akan menjadi pasangan si pahlawan, atau bagaimana kekuatan rahasianya akan muncul di momen klimaks. Ini seperti kecanduan gula. Kita tahu itu buruk, kita tahu kita harus berhenti, tapi ada sesuatu yang membuat kita terus mengunyah hingga kotak terakhir.
Mungkin ini bukan salah penulis atau studio animasi. Mungkin ini salah kita sendiri. Kita yang terus memberikan mereka alasan untuk membuat cerita yang sama berulang kali. Kita yang terus mengkonsumsi, terus membicarakan, terus membeli merchandise tanpa henti. Kita yang terlalu malas untuk menuntut sesuatu yang lebih segar, lebih mendalam, lebih berharga dari sekadar fantasi escapist murahan.
Pada akhirnya, isekai adalah cerminan kita. Kita tidak benar-benar ingin cerita yang menantang. Kita hanya ingin pelarian yang mudah, dunia di mana semua masalah selesai dengan satu mantra ajaib, di mana semua perempuan mencintai kita tanpa syarat, dan di mana semua yang kita lakukan adalah menjadi "istimewa" tanpa usaha.
Jadi, silakan tonton lagi anime isekai berikutnya. Tertawalah pada lelucon recehnya, terpesonalah oleh animasi pertarungannya, dan jatuh cintalah pada heroine yang, meski dibuat dengan model yang sama, masih berhasil membuat kita terpikat. Tapi jangan lupa, setiap kali kita menekan tombol play, kita semakin menanamkan diri dalam siklus fantasi kosong yang sama. Dan siapa tahu, mungkin suatu hari kita akan cukup muak untuk benar-benar berhenti. Atau mungkin tidak.
Komentar
Posting Komentar