Apa sebenarnya artinya aku dalam hidup kalian? Apakah aku ada? Atau aku hanya sekadar sosok yang lewat, seperti bayangan yang muncul sebentar lalu menghilang? Mungkin, bagi sebagian dari kalian, aku ini hanya angin, tak kasat mata, terasa sebentar lalu sirna. Aku sering bertanya-tanya, apakah keberadaanku benar-benar berarti, atau hanya sekadar formalitas dalam ruang-ruang sosial kalian?
Kita berbicara, tertawa, berbagi cerita, sesaat aku merasa penting. Tapi nyatanya, aku sadar, kalian memperhatikanku hanya ketika aku dekat, hanya ketika aku relevan bagi kepentingan kalian. Setelah semua itu usai, apa aku masih ada? Tidak, aku kembali menjadi bayangan. Kita yang dulu dekat berubah menjadi asing.
Ironinya, aku pun terjebak dalam pola yang sama. Bukankah aku juga pernah melupakan orang lain yang dulu dekat denganku? Begitu cepatnya hubungan-hubungan itu memudar, seolah tak pernah ada. Dari teman menjadi kenalan, dari kenalan menjadi nama yang samar di kepala, lalu hilang begitu saja. Kita semua seperti itu, bukan? Menganggap orang penting hanya ketika mereka ada di depan mata, lalu melupakannya saat dunia lain memanggil perhatian kita.
Dunia ini memang begitu, penuh dengan ketidakpedulian. Orang-orang sibuk mengejar apa yang penting bagi mereka, sementara kita yang dulu berdiri bersama menjadi tak lebih dari fragmen memori yang perlahan-lahan kabur. Apakah aku pernah ada dalam pikiran kalian? Atau aku hanya ada ketika aku berguna?
Tentu saja, ada saat-saat ketika aku merasa benar-benar hadir. Ketika tawa kita pecah di tengah malam, ketika cerita-cerita mengalir tanpa henti. Tapi aku tahu, momen-momen itu tidak abadi. Ketika waktu berlalu, kita akan terpisah. Bukan karena jarak, tapi karena prioritas. Keberadaanku akan memudar, seperti cat yang luntur oleh hujan.
Dan lucunya, aku pun tahu bahwa aku tak mampu mempertahankan keberadaan kalian dalam pikiranku. Orang-orang datang dan pergi, seperti musim yang berganti. Aku pun sering lupa nama-nama, wajah-wajah, dan cerita-cerita yang pernah mengisi hidupku. Kita semua seperti itu, menjadikan orang lain asing lagi, seolah tak pernah ada sejarah bersama.
Yang lebih ironis, bahkan ketika aku masih di sini, masih ada, banyak dari kalian mungkin sudah menganggapku hilang. Kalian sibuk dengan dunia kalian sendiri, seperti aku sibuk dengan duniaku. Mungkin, keberadaan hanyalah ilusi. Kita merasa ada karena kita ingin ada, tapi di mata orang lain, kita mungkin hanya bayangan.
Pada akhirnya, apa arti keberadaan ini? Apakah aku hanya ada ketika aku berguna? Ataukah aku hanya menjadi bagian dari sebuah fase dalam hidup kalian? Setelah semua selesai, apakah aku akan dikenang, atau hanya dilupakan seperti mimpi yang samar?
Dari asing menjadi asing lagi, begitulah hidup berjalan. Tidak ada upaya untuk mempertahankan keberadaan kita dalam pikiran orang lain. Karena pada akhirnya, kita semua akan hilang, entah karena kematian, atau karena perasaan yang mati. Dan itu, mungkin, adalah ironi terbesar dari keberadaan: kita merasa ada, tapi sejatinya, kita hanya sementara.
Komentar
Posting Komentar