Langsung ke konten utama

Dari Asing Menjadi Asing: Ironi Keberadaan yang Tak Pernah Ada

Apa sebenarnya artinya aku dalam hidup kalian? Apakah aku ada? Atau aku hanya sekadar sosok yang lewat, seperti bayangan yang muncul sebentar lalu menghilang? Mungkin, bagi sebagian dari kalian, aku ini hanya angin, tak kasat mata, terasa sebentar lalu sirna. Aku sering bertanya-tanya, apakah keberadaanku benar-benar berarti, atau hanya sekadar formalitas dalam ruang-ruang sosial kalian?
Kita berbicara, tertawa, berbagi cerita, sesaat aku merasa penting. Tapi nyatanya, aku sadar, kalian memperhatikanku hanya ketika aku dekat, hanya ketika aku relevan bagi kepentingan kalian. Setelah semua itu usai, apa aku masih ada? Tidak, aku kembali menjadi bayangan. Kita yang dulu dekat berubah menjadi asing.
Ironinya, aku pun terjebak dalam pola yang sama. Bukankah aku juga pernah melupakan orang lain yang dulu dekat denganku? Begitu cepatnya hubungan-hubungan itu memudar, seolah tak pernah ada. Dari teman menjadi kenalan, dari kenalan menjadi nama yang samar di kepala, lalu hilang begitu saja. Kita semua seperti itu, bukan? Menganggap orang penting hanya ketika mereka ada di depan mata, lalu melupakannya saat dunia lain memanggil perhatian kita.
Dunia ini memang begitu, penuh dengan ketidakpedulian. Orang-orang sibuk mengejar apa yang penting bagi mereka, sementara kita yang dulu berdiri bersama menjadi tak lebih dari fragmen memori yang perlahan-lahan kabur. Apakah aku pernah ada dalam pikiran kalian? Atau aku hanya ada ketika aku berguna?

Tentu saja, ada saat-saat ketika aku merasa benar-benar hadir. Ketika tawa kita pecah di tengah malam, ketika cerita-cerita mengalir tanpa henti. Tapi aku tahu, momen-momen itu tidak abadi. Ketika waktu berlalu, kita akan terpisah. Bukan karena jarak, tapi karena prioritas. Keberadaanku akan memudar, seperti cat yang luntur oleh hujan.
Dan lucunya, aku pun tahu bahwa aku tak mampu mempertahankan keberadaan kalian dalam pikiranku. Orang-orang datang dan pergi, seperti musim yang berganti. Aku pun sering lupa nama-nama, wajah-wajah, dan cerita-cerita yang pernah mengisi hidupku. Kita semua seperti itu, menjadikan orang lain asing lagi, seolah tak pernah ada sejarah bersama.
Yang lebih ironis, bahkan ketika aku masih di sini, masih ada, banyak dari kalian mungkin sudah menganggapku hilang. Kalian sibuk dengan dunia kalian sendiri, seperti aku sibuk dengan duniaku. Mungkin, keberadaan hanyalah ilusi. Kita merasa ada karena kita ingin ada, tapi di mata orang lain, kita mungkin hanya bayangan.
Pada akhirnya, apa arti keberadaan ini? Apakah aku hanya ada ketika aku berguna? Ataukah aku hanya menjadi bagian dari sebuah fase dalam hidup kalian? Setelah semua selesai, apakah aku akan dikenang, atau hanya dilupakan seperti mimpi yang samar?
Dari asing menjadi asing lagi, begitulah hidup berjalan. Tidak ada upaya untuk mempertahankan keberadaan kita dalam pikiran orang lain. Karena pada akhirnya, kita semua akan hilang, entah karena kematian, atau karena perasaan yang mati. Dan itu, mungkin, adalah ironi terbesar dari keberadaan: kita merasa ada, tapi sejatinya, kita hanya sementara.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tuhan tidak Menciptakan Kemiskinan

Kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak- hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Lalu apakah kemiskinan itu tuhan sendiri yang menciptakannya atau manusia sendirilah yang menciptakan kemiskinan tersebut. Akan tetapi banyak dari kalangan kita yang sering menyalahkan tuhan, mengenai ketimpangan sosial di dunia ini. Sehingga tuhan dianggap tidak mampu menuntaskan kemiskinan. (Pixabay.com) Jika kita berfikir ulang mengenai kemiskinan yang terjadi dindunia ini. Apakah tuhan memang benar-benar menciptakan sebuah kemiskinan ataukah manusia sendirilah yang sebetulnya menciptakan kemiskinan tersebut. Alangkah lebih baiknya kita semestinya mengevaluasi diri tentang diri kita, apa yang kurang dan apa yang salah karena suatu akibat itu pasti ada sebabnya. Tentunya ada tiga faktor yang menyebabkan kemiskinan itu terjadi, yakni pertama faktor  mindset dan prilaku diri sendiri, dimana yang membuat seseorang...

Pendidikan yang Humanis

Seperti yang kita kenal pendidikan merupakan suatu lembaga atau forum agar manusia menjadi berilmu dan bermanfaat bagi masyarakat. Pendidikan merupakan tolak ukur sebuah kemajuan bangsa. Semakin baik sistem pendidikannya maka semakin baik pula negaranya, semakin buruk sistem pendidikannya semakin buruk pula negara tersebut. Ironisnya di negara ini, pendidikan menjadi sebuah beban bagi para murid. Terlalu banyaknya pelajaran, kurangnya pemerataan, kurangnya fasilitas, dan minimnya tenaga pengajar menjadi PR bagi negara ini. Saat ini pendidikan di negara kita hanyalah sebatas formalitas, yang penting dapat ijazah terus dapat kerja. Seakan-akan kita adalah robot yang di setting dan dibentuk menjadi pekerja pabrik. Selain itu, ilmu-ilmu yang kita pelajari hanya sebatas ilmu hapalan dan logika. Akhlak dan moral dianggap hal yang tebelakang. Memang ada pelajaran agama di sekolah namu hal tersebut tidaklah cukup. Nilai tinggi dianggap orang yang hebat. Persaingan antar sesama pelajar mencipta...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...