Menjadi seorang idealis sering kali dianggap sebagai sebuah perjalanan intelektual yang mulia, melibatkan gagasan-gagasan besar yang logis dan penuh visi. Namun, idealisme bukan hanya soal berpikir logis atau memiliki visi utopis. Ia juga harus mampu menjawab tantangan yang nyata, menjembatani gagasan dengan tindakan, dan mengatasi keterbatasan yang ada. Dalam kenyataan hidup, mempertahankan idealisme membutuhkan lebih dari sekadar keyakinan; ia juga membutuhkan privilese. Tanpa harta, kekuasaan, atau pengaruh, seberapa jauh seseorang bisa membawa idealismenya tetap bertahan di tengah realitas yang keras?
Privilese memberikan ruang dan kebebasan bagi idealisme untuk berkembang. Orang-orang dengan privilese memiliki akses ke sumber daya, waktu, dan kesempatan untuk mewujudkan gagasan mereka. Dengan kekayaan, mereka dapat mendukung gerakan atau ide yang mereka percayai. Dengan kekuasaan, mereka memiliki pengaruh untuk membuat perubahan struktural. Dengan popularitas, mereka mampu menarik dukungan luas. Namun, bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki itu semua? Tanpa privilese, idealisme sering kali terjebak dalam angan-angan, terkikis oleh kebutuhan sehari-hari, dan akhirnya pudar seiring waktu. Dalam kondisi seperti ini, idealisme sering kali berubah menjadi kemewahan yang hanya dapat dimiliki oleh mereka yang sudah mapan.
Namun, memiliki privilese saja tidak cukup. Dunia ini kompleks, penuh dengan tantangan yang sulit dipahami dan diprediksi. Idealisme, seberapapun kuatnya, sering kali berbenturan dengan kenyataan yang tidak sesuai dengan apa yang dipikirkan. Menciptakan dunia yang sesuai dengan ideal kita sering kali menghasilkan sesuatu yang berbeda dari yang diharapkan. Di sinilah letak keunikan dari dunia ini—ia tidak pernah berjalan sesuai rencana. Tantangan, kesalahan, dan ketidaksempurnaan menjadi bagian yang tak terhindarkan. Oleh karena itu, idealisme yang bertahan bukanlah yang hanya fokus pada apa yang "seharusnya," melainkan yang mampu beradaptasi dengan apa yang "ada."
Pada prinsipnya, yang lebih penting bukanlah membangun idealisme semata, tetapi menentukan tindakan apa yang perlu dilakukan. Tindakan lebih berarti ketika ia berasal dari pemahaman yang mendalam tentang realitas, bukan hanya dari pikiran yang terisi angan-angan. Dalam beberapa situasi, tindakan yang efektif justru lahir dari pemikiran yang sederhana, bahkan kosong. Ketika kita melepaskan beban ekspektasi yang tidak realistis, kita membuka diri untuk belajar dari pengalaman dan mengadaptasi tindakan yang lebih relevan.
Belajar dari kesalahan masa lalu adalah salah satu cara untuk melangkah ke depan. Masa lalu menawarkan pelajaran konkret yang tidak bisa diberikan oleh imajinasi tentang masa depan. Kesalahan mengajarkan kita tentang apa yang tidak berhasil, sementara keberhasilan mengajarkan apa yang dapat dipertahankan. Ini bukan berarti mengesampingkan visi masa depan, tetapi lebih kepada membangun masa depan yang realistis berdasarkan apa yang telah kita pelajari dari masa lalu. Daripada hanya berkhayal tentang masa depan yang abstrak, tindakan nyata yang berdasarkan pengalaman lebih mungkin menghasilkan perubahan yang berarti.
Pada akhirnya, menjadi idealis adalah sebuah pilihan, tetapi mempertahankan idealisme adalah tantangan. Dunia ini tidak akan pernah menjadi tempat yang sempurna, dan kenyataan sering kali jauh dari apa yang kita bayangkan. Namun, dengan tindakan yang berakar pada pengalaman dan pemahaman yang mendalam, kita dapat membuat perubahan kecil yang nyata. Idealisme bukan sekadar tentang gagasan besar, tetapi tentang keberanian untuk bertindak, belajar dari kesalahan, dan terus melangkah meski tanpa privilese yang memadai. Karena di tengah dunia yang tidak sempurna ini, tindakan sederhana yang nyata sering kali lebih berarti daripada idealisme yang megah tetapi hanya ada di pikiran.
Komentar
Posting Komentar