Manusia, katanya, adalah makhluk yang dirancang untuk berjuang. Dari zaman berburu dan meramu hingga zaman ponsel pintar dan kecerdasan buatan, perjuangan selalu menjadi inti dari eksistensi kita. Namun, ironisnya, semakin banyak kemudahan yang kita ciptakan, semakin banyak pula manusia yang merasa tidak perlu berjuang lagi. Dunia yang dulu penuh tantangan kini tampak seperti taman bermain bagi generasi yang menganggap semuanya bisa didapatkan dengan satu klik.
Mari kita renungkan sejenak. Kemudahan yang kita nikmati hari ini adalah hasil dari darah, keringat, dan air mata orang-orang di masa lalu. Mereka yang bekerja tanpa henti, menggali ilmu, menaklukkan alam, bahkan mengorbankan nyawa demi sebuah visi—sebuah dunia yang lebih baik, lebih nyaman, lebih maju. Namun, apa yang kita lakukan dengan warisan itu? Alih-alih menghormati perjuangan mereka, kita justru larut dalam kenikmatan yang mereka ciptakan.
Kini, kita hidup di zaman di mana semua serba instan. Ingin makan? Pesan lewat aplikasi. Ingin informasi? Cukup buka internet. Ingin hiburan? Scroll media sosial hingga jempol keram. Tidak ada lagi kebutuhan untuk bersusah payah. Bahkan, perjuangan yang paling mendasar—berdiri dan berjalan ke dapur untuk memasak—sudah tergantikan oleh layanan pesan antar. Lalu, apa yang tersisa untuk diperjuangkan?
Masalahnya, kemudahan ini justru menjadi belenggu. Kita terlena, terjebak dalam kenyamanan yang melenakan. Kemalasan menjadi epidemi. Kebodohan menjadi norma baru, karena siapa peduli pada ilmu ketika semua jawaban bisa dicari di mesin pencari? Kelemahan mental menjamur, karena kita tidak lagi diajarkan untuk menghadapi kesulitan, melainkan hanya diajarkan untuk menghindarinya.
Di masa lalu, orang berjuang untuk bertahan hidup. Mereka melawan penyakit, kelaparan, perang, dan kebodohan. Tetapi sekarang, apa yang kita lawan? Tidak ada. Atau, mungkin, justru diri kita sendiri. Karena kemudahan yang seharusnya membebaskan kita, kini malah menjadi penjara yang tak terlihat.
Dan di sinilah ironi itu terletak: perjuangan kita di era ini bukan lagi tentang menciptakan kemudahan, tetapi tentang bagaimana melawan kemudahan itu sendiri. Bagaimana kita bisa lepas dari jebakan kenyamanan? Bagaimana kita bisa kembali menemukan makna perjuangan di tengah dunia yang sudah begitu nyaman?
Jawabannya, tentu saja, tidak mudah. Sebab, siapa yang ingin meninggalkan kasur empuknya untuk berjalan di jalan berbatu? Siapa yang ingin mengangkat beban ketika semuanya bisa diotomatisasi? Siapa yang ingin berpikir keras ketika semua jawaban sudah tersedia di genggaman tangan?
Namun, mungkin inilah tantangan terbesar kita sebagai manusia modern: untuk kembali menemukan api perjuangan di tengah lautan kenikmatan. Untuk belajar menghargai kerja keras, bukan hanya menikmati hasilnya. Untuk kembali menjadi makhluk yang dirancang untuk berjuang, bukan makhluk yang hanya duduk dan menunggu.
Karena pada akhirnya, kemudahan bukanlah akhir dari perjalanan kita sebagai manusia. Kemudahan hanyalah alat—alat yang seharusnya membantu kita mencapai tujuan yang lebih besar, bukan membuat kita lupa bahwa hidup ini sejatinya adalah tentang perjalanan, tentang tantangan, dan tentang perjuangan. Jika kita membiarkan diri kita tenggelam dalam kemudahan, maka kita tidak hanya menghianati perjuangan orang-orang di masa lalu, tetapi juga menghianati potensi diri kita sendiri.
Komentar
Posting Komentar