Aku ingin mati, tapi aku juga ingin makan. Sebuah ungkapan sederhana yang, entah kenapa, terasa seperti menggambarkan seluruh absurditas hidupku. Setiap hari, aku bangun dengan rasa malas yang sama, menghadapi dunia yang rasanya terlalu berat untuk dijalani.
Namun, meski ada keinginan untuk menyerah pada hidup, tubuhku tetap memiliki agenda lain: mencari makanan. Bukankah itu lucu? Sementara pikiranku terus bermain-main dengan ide kematian, perutku memaksaku untuk terus hidup.
Setiap hari, aku mengayuh sepeda tua yang sudah hampir reot, menyusuri jalanan demi sekadar mengisi perut. Jalan yang kulalui terkadang begitu berbahaya- kendaraan melesat seperti tidak peduli pada siapa pun. Di saat-saat seperti itu, sering terlintas pikiran, bagaimana kalau aku sengaja menyerahkan diriku pada takdir? Mungkin kalau tertabrak, semuanya selesai. Tapi nyatanya, aku selalu sigap menghindar, hampir seperti refleks yang menolak untuk menyerah. Ironis, bukan? Aku ingin mati, tapi tubuhku malah bekerja keras untuk menyelamatkan diri.
Kadang aku berpikir, kalau benar-benar ingin mati, kenapa aku tidak berhenti makan saja? Biarkan tubuhku perlahan menyerah pada kelaparan. Tapi, bahkan ide itu pun terasa terlalu merepotkan.
Bayangkan harus melewatkan aroma makanan yang begitu menggoda atau membiarkan perut kosong melilit tanpa henti. Tidak, aku terlalu malas untuk itu. Nyatanya, makan adalah satu-satunya hiburan yang tersisa dalam hidupku, meski hanya sekadar mengisi kekosongan tanpa arti.
Dilema ini begitu konyol. Aku ingin mati, tapi untuk mati saja rasanya aku terlalu malas. Hidupku berjalan seperti sebuah sandiwara tragis yang salah arah. Aku melamun tentang kematian, tetapi pada saat yang sama, aku terus menggerakkan kakiku, mengayuh sepeda, mencari makanan, dan mengisi perutku. Seolah-olah tubuhku tahu bahwa keinginan untuk mati hanyalah omong kosong yang tak benar-benar kuinginkan.
Ironinya, setiap gigitan makanan yang kutelan selalu membawa rasa lega yang sementara. Hidup memang tetap terasa pahit, tetapi setidaknya makanan memberikan jeda dari kekosongan. Dalam setiap gigitan, ada semacam pengakuan diam-diam bahwa aku masih ingin terus ada, meski hanya untuk menikmati rasa pedasnya sambal atau manisnya gula dalam teh hangat. Bukankah itu lucu? Di tengah keputusasaan, aku tetap tidak bisa menolak godaan untuk hidup, meski hanya demi makanan.
Kenyataan ini membuatku sadar, betapa absurdnya hidup ini. Aku tidak benar-benar ingin mati, tapi aku juga tidak benar-benar ingin hidup. Aku berada di tengah-tengah, dalam ruang kosong yang hanya diisi oleh rutinitas mencari makanan dan melawan pikiran-pikiran tentang menyerah. Hidupku adalah sebuah kontradiksi yang berjalan dalam siklus tanpa akhir, dan tubuhku- yang lebih jujur daripada pikiranku- memilih untuk terus bergerak.
Jadi, di tengah semua ironi ini, mungkin aku harus menerima bahwa hidup memang tidak masuk akal. Hidup adalah tentang bertahan, bahkan ketika kita tidak tahu untuk apa. Dan mungkin, makanan- sekecil apa pun-adalah alasan sederhana yang cukup untuk membuatku terus bergerak, meski hanya untuk sehari lagi.
Komentar
Posting Komentar