Langsung ke konten utama

Menyerahkan Nasib pada Bandar Judi Kehidupan




Menyerahkan masa depan kepada orang lain tak ubahnya seperti menyerahkan seluruh tabungan hidup kepada seorang bandar judi, berharap mimpi indah terwujud di atas meja taruhan. Dalam benak, kita membayangkan keberuntungan besar yang mengubah segalanya. Namun, realitas sering kali menghadirkan wajah berbeda—uang habis, mimpi hancur, dan kita terdampar di sudut ruangan, merenungi keputusan bodoh yang telah diambil.

Hidup ini, pada dasarnya, memang serupa perjudian. Setiap langkah kita adalah taruhan di atas papan dunia yang absurd. Kita tidak pernah tahu apakah esok membawa keberuntungan manis atau justru malapetaka pahit. Bagaimana bisa kita begitu yakin menyerahkan nasib pada orang lain, padahal mereka sendiri mungkin sedang bergulat dengan ketidakpastian hidupnya?

Yang bisa kita andalkan hanyalah diri sendiri. Tidak ada jaminan bahwa mempersiapkan diri dengan matang akan selalu membawa hasil yang baik, tetapi setidaknya itu jauh lebih masuk akal daripada berharap pada belas kasih orang lain. Masa depan itu penuh misteri, dan jalan menuju ke sana sering kali terjal serta penuh tikungan tajam. Tidak ada peta pasti, hanya insting dan keberanian yang bisa kita andalkan untuk melangkah.

Namun, persiapan diri bukan berarti hidup bebas dari rintangan. Sebaliknya, semakin kita siap, semakin besar tantangan yang menghampiri. Cobaan datang seperti badai di tengah lautan, menggulung tanpa peringatan. Kita boleh merasa hebat, kita boleh merasa siap, tapi realitas selalu punya cara untuk membuat kita tersungkur. Dan di situlah letak paradoks kehidupan—bahwa ketidakpastian adalah satu-satunya hal yang pasti.

Kekecewaan pada orang lain adalah hal yang wajar. Orang yang kita percayai, yang kita anggap bisa menjadi sandaran, kadang hanya akan menambah beban yang sudah berat. Mereka punya harapan mereka sendiri, beban mereka sendiri, dan sering kali tidak mampu memenuhi ekspektasi yang kita berikan. Maka dari itu, menggantungkan nasib baik pada mereka adalah tindakan yang sia-sia.

Hidup ini keras, dan tidak ada yang bisa menjamin apa-apa. Namun, itu tidak berarti kita harus menyerah. Sebaliknya, justru karena tidak ada yang pasti, kita harus bangkit dan berusaha. Bukan untuk memastikan hasil, tetapi untuk memastikan bahwa kita tidak menyerahkan masa depan pada tangan-tangan yang tidak peduli.

Menyerahkan masa depan pada orang lain adalah tanda bahwa kita telah kehilangan kepercayaan pada diri sendiri. Dan kehilangan kepercayaan pada diri sendiri adalah awal dari kehancuran. Jangan jadikan hidup ini taruhan yang kita mainkan sembarangan. Pegang erat kendali, meskipun arah angin terus berubah, dan meskipun kadang terasa tidak ada yang pasti selain kegagalan. Karena di tengah ketidakpastian itulah, ada kekuatan kecil yang bernama harapan—bukan harapan pada orang lain, tapi harapan yang tumbuh dari keyakinan pada diri sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...